Kamis, 07 April 2016

Resensi Buku Integrasi Agama dan Filsafat (Pemikiran Epistemologi Al-Farabi)



Filsafat Pendidikan Islam (Resensi Buku)
Resensi oleh : Umiati (15770034)

Judul Buku : Integrasi Agama dan Filsafat (Pemikiran Epistemologi Al-Farabi)
Penulis : Dr. A. Khudori Soleh, M.Ag
Penerbit : UIN MALIKI PRESS (Anggota IKAPI)
Tebal : 153 Halaman
Cetakan : Cet. I September 2010
Buku ini merupakan sebuah sumbangsih yang sangat besar bagi kaum pelajar khususnya setingkat mahasiswa dan mahasiswa pasca sarjana yang mungkin ingin mengetahui  pemikiran al-Farabi, pengetahuan al-farabi serta bagaimana Al-Farabi memperoleh pengetahuan tersebut.  Dengan semua daya dan upaya penulis optimalkan dalam menyusun buku ini, penulis adalah seorang yang ahli di bidang filsafat dosen Studi Filasafat Islam UIN Maulana Malik Ibrahim Malang . Lahir di Nganjuk, 24 Nopember 1968.
Penulis dalam menyusun buku ini diawali dengan mejelaskan terlebih dahulu mengenai BAB I Pendahuluan, BAB II Sketsa Biografis Al-Farabi, BAB III Sumber Pengetahuan, BAB IV Cara Mendapatkan Pengetahuan, BAB V Validitas Pengetahuan dan BAB VI. Penutup. Buku ini juga tidak ditulis secara sistematik menurut struktur Filsafat Pendidikan.
Kelebihan dalam buku ini, struktural, rinci jelas dan logis. Bahasa yang digunakan mudah untuk dipahami. Kelemahan dalam buku ini penulis hanya membicarakan beberapa topik atau tema saja yang dianggapnya penting. Bahkan sebagian besar bahan-bahan materinya diangkat dari makalah-makalah yang pernah penulis dibahas di forum-forum diskusi atau formal lainnya.

BAB I
PENDAHULUAN

Satu hal yang penting dalam keilmuan dan upaya pengembangannya adalah pemahaman dan penguasaan atas masalah epistemologi (sumber-sumber dan kebenaran pengetahuan). Sebab, ia berkaitan dengan tata cara berpikir yang melahirkan dan menentukan validitas sebuah keilmuan. Seperti yang ditulis Ali Syariati, pengetahuan yang benar muncul dari cara berpikir yang benar, sedangkan cara berpikir yang benar muncul dari epistemologi yang benar. [1]
Dalam kajian epistemologi, rasionalisme dan empirisme dianggap sebagai aliran yang sangat dominan dan menjadi pilar utama dalam metode keilmuan (modern scientific method). Maksudnya, prinsip diatas dijadikan barometer keilmuan sebuah ilmu atau teori, yakni ilmu atau teori tersebut rasional dan dapat dibuktikan secara empirik. Sehingga apabila suatu pandangan tidak sesuai dngan kriteria diatas, maka tidak dianggap ilmiah. [2] Kenyataannya, hampir tidak ada disiplin keilmuan di belahan dunia yang tidak menggunakan barometer ini, tidak terkecuali masyarakat Islam.[3]
Padahal, prinsip-prinsip tersebut bukan tanpa masalah. Empirisme, misalnya, menurut laporan Traverso dan Unesco, dalam banyak hal justru dapat mendorong terjadinya reduksionisme.(Traverso, 1977: 410) Selain itu, secara umum prinsip-prinsip ini tidak pernah benar-benar menunjukkan sesuatu yang objektif (berdasarkan realitas) dan ilmiah, melainkan berdasarkan paradigma (cara pandang yang dipengaruhi oleh personal, pertimbangan, kekelompokan, maupun sosial).  Belum lagi jika dikaitkan dengan khazanah keilmuan Islam, akan muncul dua hal yang mendasar. Pertama, bahwa semua hal-hal yang gaib tidak dapat di observasi secara pasti dan empirik inderawi.(Sardar, 1989: 75) Kedua, secara metodologis, prinsip rasionalisme dapat menggiring pada proses penyingkiran wahyu pada salah satu sumber ilmu pengetehuan sebagaimana yang terjadi di kebanyakan masyarakat Barat. Secara garis besar, epistemologi berkaitan dengan dua masalah pokok yang dikaji dalam buku ini:
1.      Apa sumber pengetahuan dalam konsep keilmuan al-Farabi?
2.      Bagaimana cara untuk mendapatkan pengetahuan? Apa ukuran validitas pengetahuannya?
Tujuan peresumean buku ini adalah untuk melakukan eksplorasi atas pemikiran epistemologi al-Farabi. Adapun signifikasinya dapat dilihat dari tiga aspek. Pertama, aspek material kajian, yaitu epistemologi menjadi sesuatu yang sangat penting dalam menentukan pengembangan keilmuan. Kedua, aspek kebutuhan, yaitu sebagai respon atas berbagai kelemahan dari bentuk-bentuk epistemologi yang ada. Ketiga, aspek ketokohan, yaitu al-Farabi adalah tokoh yang mempunyai pengaruh besar bagi perkembangan filsafat dan pemikiran sesudahnya, baik Islam maupun Barat.
Untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dikaji dalam penelitian ini, digunakan dua teori pokok. Pertama, klasifikasi epistemologi dari al-Farabi dan Mulyadi Kartanegara yang terdiri atas 4 bentuk, yaitu:
a.       Bayani, adalah epistemologi yang menyatakan bahwa ilmu bersumber pada teks (analisa teks), sedang validitasnya berdasarkan kesesuaiannya dengan makna teks.
b.      Burhani, adalah epistemologi yang mendasarkan diri pada akal (logika), sedang validitasnya berdasarkan koherensi.
c.       Irfani, adalah epistemologi yang mendasarkan diri pada intuisi (olah rohani), sedang valiitasnya berdasarkan intersubjektif.
d.      Tajribi,adalah epistemologi yang mendasarkan diri pada realitas empirik(observasi atau eksperimen), sedang validitasnya berdasarkan korespondensi.[4]
Kedua, teori kesadaran diri dari Suhrawardi yang menyatakan bahwa hubungan langung tanpa halangan antara subjek yang mengetahui dan objek yang diketahui. Pertemuan subjek dan objek inilah yang disebut kesadaran diri. Namun kesadaran diri bukan bersifat mistik, melainkan rasional. Artinya, ia muncul bukan berdasarkan atas olah spiritual, melainkan berangkat dari olah dan kekuatan nalar.[5]
Objek penelitian filsafat terdiri dari objek material (pikiran-pikiran al-Farabi yang berkaitan dengan epistemologi) dan objek formal (bentuk pemikiran epistemologinya). Sedangkan data-data yang diteliti terdiri dari data primer (gagasan-gagasan yang ditulis sendiri oleh al-Farabi), data sekunder (pemikiran-pemikiran al-Farabi yang digambarkan orang lain), dan data umum (teori-teori yang berkaitan dengan epistemologi).

BAB  II
SKETSA BIOGRAFI AL-FARABI

A.  Kondisi Sosial Politik
Al-Farabi hidup pada periode kedua masa perintahan Abbasiyah: suatu masa dimana  khalifah-khalifah yang memerintah di Baghdad secara politik tidak lagi kuat seperti sebelumnya, sehingga mereka tidak kuasa melawan kehendak para perwira pengawal keturunan Turki, dan secara intelektual pemikiran Muktazilah mulai memudar seiring dengan munculnya ajaran salaf.
Pada masa pemerintahan bani Abbas periode Pertama, kewaziran tersebut dapat dikontrol oleh khalifah. Akan tetapi, pada periode berikutnya, lembaga kewaziran begitu kuat dan berkuasa, serta tidak terkontrol oleh khalifah, sehingga ada yang berani menyatakan diri sebagai sultan, amir al-umara’ dan al-mulk seperti yang dilakukan bani Buwaih.[6] Ketidak mampuan khalifah mengontrol kewaziran tersebut menyebabkan provinsi-provinsi didaerah menjadi jauh dari pengawasan pemerintahan pusat, sehingga mendorong para penguasa daerah untuk berkuasa penuh atas masing-masing otonom, seperti wilayah Turkistan yang provinsi otonomnya berada dibawah kekuasaan bani Saman dan wilayah Damaskus dan Aleppo yang sepenuhnya dikontrol oleh bani Hamdan. Dalam kondisi politik seperti ini, banyak provinsi-provinsi yang saling menyerang dan menduduki daerah lain untuk memperluas kekuasaan masing-masing. Namun, yang jelas, dalam kaitannya dengan kehidupan dan karir intelektual al-Farabi, para amir atau sultan wilayah Turkistan dan Aleppo ternyata adalah penguasa yang sangat apresiatif terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan filsafat.

B.  Gerak Intelektual
Kegiatan-kegiatan ilmiah pada masa kekhalifahan bani Abbas bergerak dinamis seiring dengan perkembangan politik yang ada. Menurut Atiyeh, kegiatan-kegiatan intelektual menempuh dua jalan yang berbeda.[7] Pertama, jalan ortodoks (salaf) yang dianut kebanyakan kaum muslim yang menuju pembangunan dan pengembangan ilmu-ilmu bayani. Kedua, jalan yang kurang ortodoks (khalaf) yang dipengaruhi oleh kebudayaan Yunani, Persia dan Syiria yang menuju pada pengembangan tentang filsafat, matematika, astronomi, fisika dan geografi.
Pada periode awal, aktivitas intelektual bergerak dan berkembang pesat, baik yang menempuh jalan ortodoks, maupun jalan kurang ortodoks. Namun, sejak masa kekhalifahan Al-Makmun (813-833 M),  banyak usaha penerjemahan secara besar-besaran terhadap buku-buku ilmiah dan filsafat yang diminati oleh kebanyakan khalifah sesudahnya, sehingga ilmu yang digali melalui jalan yang kurang ortodoks sangat dominan dan berkembang.[8]
Perkembangan yang pesat pada ilmu-ilmu Yunani diatas, ditentang oleh kalangan salaf. Pertama, karena adanya ketakutan ulama salaf bahwa ilmu-ilmu Yunani akan menyebabkan berkurangnya rasa hormatterhadap Tuhan. Kedua, karena kebanyakan orang yang mempelajari fisafat dan ilmu pengetahuan adalah orang-orang Kristen, penganut Machianisme, dan pengikut madzhab Batiniyah yang dicurigai atas segala kegiatan intelektual dan perenungan yang mereka lakukan. Ketiga, karena untuk melindungi umat Islam dari pengaruh Machianisme. [9]  Dengan demikian, pada masa al-Farabi, telah terjadi perubahan pemikiran secara besar-besaran di Baghdad dan pemikiran filsafat disana tetap berkembang hingga ke daerah-daerah.

C.      Riwayat Hidup
Nama lengkap al-Farabi adalah Abu Nasr Muhammad ibn Muhammad ibn Tharkhan ibn Auzalagh al-Farabi. Lahir di Wasij, sebuah dusun kecil di distrik kota Farab, provinsi Transoxinia, Turkistan, tahun 257 H/870 M. [10]
Pendidikan dasar dan masa remaja dimulai di Farab, sebuah kota yang sebagian besar penduduknya mengikuti fiqh madzhab Syafi’i. Disini ia mempelajari tata bahasa, kesusastraan, ilmu-ilmu agama (khususnya fiqh, tafsir dan hadis), astronomi dasar dan Alquran. Berkat kecerdasannya, al-Farabi berhasil menguasai hampir setiap subjek ilmu pengetahuan yang dipelajari.[11] Setelah itu ia pindah ke Bukhara untuk menempuh studi lanjut fiqh dan ilmu-ilmu lainnya. Saat itu, Bukhara merupakan pusat intelektual dan religius dinasti Samaniyah. Disini juga, al-Farabi sempat menjadi seorang hakim (qadli) setelah menyelesaikan studi ilmu-ilmu religiusnya. Akan tetapi, pada tahun 922 M, jabatan tersebut segera ditinggalkan setelah mengetahui ada seorang guru yang mengajarkan ilmu-ilmu filosofis di Baghdad. Disini ia belajar logika dan filsafat kepada Matta ibn Yunus (w. 939 M) dan terutama ibn Hailan (w. 932 M), seorang tokoh filsafat aliran Aleksandria yang sekaligus mengajak al-Farabi ke Konstatinopel (Romawi) dan menetap disana selama 8 tahun untuk lebih mendalami ilmu filsafat.[12] Sepulang dari Konstatinopel, al-Farabi mencurahkan diri dalam belajar, mengajar dan menulis filsafat di Baghdad. Ketika situasi politik di Baghdad memburuk, pada tahun 942 M, Al-Farabi pindah ke Damaskus yang dikusai oleh dinasti Ikhsidiyah.[13] Namun, 3 tahun kemudian pindah ke Mesir karena terjadi konflik politik antara dinasti Ikhsidiyah dengan Hamdaniyah. Setelah beberapa tahun di Mesir, al-Farabi kembali lagi ke Damaskus dan pada tahun 949 M dan memenuhi undangan Saif al-Daulah untuk mengikuti lingkaran diskusi orang-orang terpelajar.[14]  Al-Farabi wafat di Damaskus, bulan rajab 399 H/950 M pada usia 80 tahun dan dimakamkan di pekuburan yang terletak diluar gerbang kecil (al-bab al-shaghir) kota bagian selatan dan Saif al-Daulah sendiri yang memimpin upacara pemakaman al-Farabi. [15]

D.     Karya-Karya dan Konstribusinya dalam Perkembangan Keilmuan
Menurut catatan para bilbliografi tradisional, terdapat 100 buah tulisan karya ilmiah al-Farabi, baik besar dan kecil, yang mencakup tema linguistik, logika, fisika, metafisika, politik, astronomi, musik dan beberapa tulisan tentang sanggahan terhadap filosof tertentu.[16] Sementara itu, menurut seorang bilbliografi yang bernama al-Qifthi, ada 71 buah tulisan dalam berbagai disiplin keilmuan. Namun, pengarang buku ini sendiri, setidaknya mendapat 119 buah karya al-Farabi, yang kebanyakan menggunakan bahasa Arab dan kebanyakan diantaranya ditulis di Baghdad, Damaskus dan Khurasan. [17]
Karya al-Farabi yang terkenal adalah Ihsha’ al-Ulum (Perincian Ilmu-Ilmu), Di sini al-Farabi mengklasifikasikan keilmuannya dalam 8 tema pokok: linguistik, logika, fisika, metafisika, politik, ilmu matematika, yurisprudensi dan teologi. Karya al-Farabi yang lainnya, dapat diklasifikasikan dalam beberapa tema. Pertama, karya- karya dalam bidang logika. Ia menulis uraian atas Organon Aristoteles secara lengkap dan diuraikan rangkap 3 yang sesuai dengan madzhab Aleksandria. Selain itu, al-Farabi juga menulis artikel-artikel pendek yang berkenaan dengan logika.[18] Sehingga, menurut Maimonides (w. 1204 M), seorang tokoh Yahudi abad Pertengahan, dalam salah satu suratnya kepada Moses ibn Tibban (w. 1230 M) menyarankan agar ibn Tibban tidak perlu menyibukkan belajar logika pada buku-buku lain, tetapi cukup dengan karya-karya logika al-Farabi, karena uraiannya sudah jelas dan mudah dipahami.[19]
Kedua, karya- karya dalam bidang fisika (thabi’iyat atau falsafah kealaman). Ia menulis uraian tentang sejumlah filsafat alam Aristoteles. Diantaranya adalah Syarh Kitab al-Sama’ al-Thabi’i li Aristhuthalis (Komentar atas Fisika Aristoteles), Syarh Kitab al-Sama’ wa al-Alam li Aristhuthalis (Bahasan atas Kitab Aristoteles tentang Langit dan Alam Raya), dan lain-lain.
Ketiga, karya-karya dalam bidang metafisika. Banyak karya al-Farabi dalam bidang ini yang dikenal memberikan pengaruh besar bagi perkembangan filsafat sesudahnya. Diantaranya adalah karya-karya yang isinya berusaha mempertemukan antara idealisme (Plato) dan empirisme (Aristoteles) dan antara agama dan filsafat. Seperti Kitab fi Ittifaq Ara’ Aristhuthalis wa Aflatun (Titik Temu Pemikiran Aristoteles dan Plato) dan Kitab Falsafah Aflatun wa Aristhuthalis (Falsafah Plato dan Aristoteles).[20]
Keempat, karya-karya dalam bidang politik. Dalam buku Kitab fi al-Sa’adah al-Maujudah karangan al-Farabi, kebahagiaan duniawi terdapat dalam kehidupan ini, tetapi kebahagiaan tertinggi berada diluar kehidupan itu. Dalam tulisan ini al-Farabi mensintesakan pandangan orang-orang bijak Yunani kuno, khususnya Plato, dengan doktrin-doktrin ajaran Alquran dan Sunnah.[21]
Kelima, karya-karya tentang tanggapan atas tokoh pemikir sebelumnya. Antara lain, Kitab al-Rad ala Jalinus (Jawaban atas Galinus), Shadr li Kitab al-Khithabah (Koreksi atas Buku Retorika), Kitab al-Rad ala Yahya al-Nahwi fi Ma Radduhu ala Aristhu (Bantahan terhadap Kritik John atas Aristoteles).[22]
Berdasarkan data-data diatas, jelas bagaimana posisi dan kotribusi al-Farabi dalam perkembangan keilmuan, dari Timur (Muslim) maupun dari Barat. Ia bukan sekedar sarjana atau filosof yang suka hanyut dalam renungan-renungan spekulatif, melainkan tokoh pemikir yang produktif. Sehingga, tidak salah jika dianggap sebagai salah seorang filosof terbesar Islam dan diberi gelar sebagai al-Mu’allim al-Tsani (Guru Kedua).

BAB III
SUMBER PENGETAHUAN

Sebelum masuk lebih jauh dalam kajian epistemologi, khususnya pemikiran al-Farabi, ada satu hal yang harus diketahui, yaitu adanya paham kesatuan dan hierarki keilmuan dalam Islam. Gagasan tentang kesatuan ilmu tersebut, lahir dari hasil penyelidikan tradisional terhadap epitemologi. Dalam pemahaman teologi Islam, sumber utama pengetahuan, yakni wahyu dan alam yang melahirkan masing-masing keilmuan yang kemudian dikenal dengan istilah ilmu agama dan ilmu umum adalah satu, yaitu intelek Ilahi. Islam menyatakan bahwa Alquran adalah firman Tuhan dan alam adalah ayat-ayat-Nya. Keduanya sama-sama berasal dari Tuhan, sehingga tidak ada perbedaan diantara keduanya.[23] Oleh karena itu, para pemikir Muslim, termasuk al-Farabi, berusaha mempertemukan wahyu dan rasio, agama dan filsafat.
Dengan demikian, terdapat paham hierarki wujud dalam Islam, termasuk juga hierarki keilmuan sebagai konsekwensi logis darinya. Gagasan tentang kesatuan dan hierarki keilmuan dapat diterima sebagai kebenaran aksiomatik oleh masyarakat Islam pada abad pertengahan pada masa al-Farabi dan ibn Rusyd. [24]

A.   Konsep tentang Pengetahuan
Menurut Fakhry (Farabi, Fushul al-Muntazi’ah), al-ilm adalah kepastian tentang jiwa yang dicapai oleh jiwa tentang suatu objek di mana kepastian tersebut diperoleh dari penalaran logis berdasarkan teori-teori atau konsep yang benar, pasti dan unggul. Al-Farabi mempersyaratkan beberapa hal, baik dari aspek subjek kajian (pasti dan universal), maupun aspek metode (kevaliditasan metode), agar suatu ilmu pengetahuan dapat dinilai sebagai sebuah ilmu.
Berdasarkan uraian diatas, maka apa yang dimaksud ilmu dalam pandangan al-Farabi harus mengandung: (1) subjek kajian yang dijadikan premis harus bersifat pasti dan universal, (2) bertujuan untuk memehami hakikat objek, dan (3) dihasilkan dari metode tertentu yang diakui kevaliditasnya.Selanjutnya, ilmu-ilmu yang diakui oleh al-Farabi dibagi dalam beberapa bagian: berdasarkan perbedaan subjek, ilmu dibagi menjadi empat (metafisika atau filsafat pertama, matematika, ilmu politik dan ilmu fisika). Sedangkan yang berdasarkan luasnya ruang lingkup kajian, dibagi menjadi dua (ilmu universal atau cakupan seluruh realitas dan ilmu patrikular atau cakupan bagian-bagian eksistensi/pemikiran).

B.   Intelek Aktif sebagai Sumber Pengetahuan
Masalah sumber pengetahuan adalah problem pertama dan fundamental dalam pembahasan epistemologi. Dalam kajian filsafat barat, dikenal 3 sumber pengetahuan. Pertama, persepsi indera, yaitu bahwa pengetahuan berdasarkan pengalaman-pengalaman kongkret. Pemahaman inilah yang kemudian melahirkan aliran empirisme. Kedua, rasio, yaitu bahwa pengetahuan berdasarkan akal pikiran atau rasio yang kemudian melahirkan aliran rasionalisme. Ketiga, intuisi, yaitu pengetahuan langsung yang tidak merupakan hasil pemikiran secara sadar atau persepsi indera. Namun, intuisi ini belum sepenuhnya diterima sepenuhnya oleh filsafat barat, karena masih mencapai tahap ‘mungkin’. [25]
Menurut al-Farabi, peran pokok rasio juga diperlukan. Sebaliknya, kemampuan berpikir adalah kekuatan utama menusia untuk memehami suatu objek dan memperoleh ilmu-ilmu (al-ulum), mengembangkan seni dan industri (shina’at), serta membedakan antara tidakan yang baik dan buruk. Al-Farabi membagi kemampuan berpikir dalam dua bagian, yakni teoritis (kemampuan berpikir biasa yang digunakan untuk mengetahui eksistensi-eksistensi yang tidak dapat dibuat dan dirubah dari satu kondisi ke kondisi lainnya) dan praktis (sesuatu yang dimanfaatkan untuk membedakan suatu objek dengan yang lain, sehingga kiita dapat membuat dan merubahnya dari kondisi satu ke kondisi lain dalam bentuk keterampilan dan reflektif atau fikriyah).
Dengan demikian, sumber pengetahuan dalam prespektif al-Farabi adalah intelek aktif, yang merupakan bentuk universal dan sederhana menjadi aktual, dan di sisi lain membimbing intelek potensial manusia untuk mampu menangkapnya, sehingga memunculkan apa yang disebut pengetahuan.

C.   Realitas Wujud sebagai Sumber dan Objek Pengetahuan
Realitas wujud adalah bagian yang tidak dapat terpisahkan dari konsep ilmu al-Farabi. Ia menetapkannya sebagai objek-objek yang diaktualkan oleh intelek aktif, sehingga dapat dipahami oleh rasio. Oleh karena itu, pembahasan tentang realitas wujud mejadi objek dan sumber pengetahuan.
1.    Pengertian Wujud
Al-Farabi menggunakan istilah wujud dan maujud untuk menunjukkan pada sebuah eksistensi. Istilah maujud merujuk pada zat dari sebuah eksistansi, sedangkan wujud merujuk pada esensi (mahiyah) dari eksistensi yang dimaksud, sehingga wujud dan maujud adalah satu adanya. Namun, esensi yang dimaksud dengan konsep esensi Plato yang diturunkan dan ada dalam dunia ide, atau konsep Aristoteles yang diartikan sebagai sebab, melainkan sesuatu yang menjadi jawaban dari pertanyaan “apakah sesuatu itu?” yang tidak merujuk pada zatnya, sehingga ia tidak bersifat material yang dapat di observasi secara inderawi. Lebih dari itu, bentuk-bentuk wujud diatas diakui al-Farabi tidak sama dengan eksistensi materialnya,proses abstraksi-abstraksi pikiran yang berdasarkan tangkapan indera terhadap suatu objek  mempunyai eksistensi sendiri dan mandiri “di luar pikiran (kharij an-nafs)”.
Dengan konsep seperti ini, maka istilah wujud dan maujud al-Farabi berarti mencakup seluruh eksistensi, baik entitas-entitas material, entitas metafisik maupun konsep-konsep dalam pikiran yang merupakan hasil dari olah nalar yang ada dalam pikiran (al-maujud fi al-adzhan) dan dalam alam materi (al-maujud fi al-a’yan). Al-Farabi sendiri secara jelas menyatakan bahwa maujud merujuk pada tiga bentuk eksistensi: (1) Seluruh bentuk proposisi (al-maqulat), (2) Persepsi-persepsi yang benar (shadiq) sesuai objek, dan (3) Seluruh bentuk eksistensi di luar pikiran, baik yang dapat digambarkan maupun tidak. [26]

2.    Yang diaktualkan dan diketahui dari sebuah wujud
Menurut al-Farabi , yang kita ketahui tentang sebuah objek adalah gambaran (representasi) objek atau ide yang dipahami rasio yang berdasarkan tangkapan indera-indera eksternal terhadap objek. Namun, ide ini bukan sama persis dengan wujud materialnya (monisme), juga bukan sesuatu yang berbeda dengannya (dualisme), melainkan representasi yang dihasilkan dari esensinya. Ia juga menjelaskan bahwasanya suatu benda terdiri dari dua dimensi: dimensi wujud material (maujud) yang mempunyai eksistensi dalam ruang dan waktu, dan dimensi wujud esensial (wujud) yang tidak dapat menempati ruang dan waktu tertentu. Hubungan diantara keduanya adalah seperti hubungan jiwa dan raga, dimana wujud material adalah wahana bagi esensinya. Sehingga, keduanya mempunyai ‘kualitas’ yang sama. Esensi adalah sesuatu apanya objek yang keberadaannya tidak tergantung pada diketahui tidaknya suatu objek yang menyebabkan objek tersebut dapat dipikirkan dan ditangkap oleh akal, yang proses penangkapan esensinya tidak lepas dari peran intelek aktif. Sehingga, tanpa esensi yang diaktualkan oleh intelek aktif, seseorang tidak dapat mengetahui adanya suatu objek.[27]
Dengan demikian, pandangan al-Farabi tentang dimensi atau wujud esensif yang bersifat “kejiwaan” merupakan bagian dari dunia metafisik dan diaktualkan dengan intelek aktif yang dipikirkan, diketahui, dan dipahami oleh nalar dalam proses mengetahui, dan ketika wujud esensif tersebut benar-benar wujud secara murni dan “mandiri”. Dalam khazanah pemikiran filsafat Barat, pemikiran ini dapat diistilahkan sebagai esensialisme, atau esensialisme kritis.[28]

3.    Bentuk-bentuk dan sifat realitas yang dapat diketahui
Menurut al-Farabi, bentuk-bentuk realitas wujud dibagi menjadi beberapa bagian: wujud-wujud spiritual (al-maujudat al-ruhiyah) dan wujud-wujud material (al-maujudat al-mahiyah).[29] Kedua bentuk wujud diatas, berada dalam jenjang dan hierarkis yang berbeda, dari wujud-wujud spiritual yang turun sampai pada wujud-wujud material. Wujud-wujud spiritual ini sendiri berupa non-materi yang terdiri dari enam tingkatan, antara lain:
a)      Allah, sebagai sebab pertama (al-sabbab al-awwal), yang dari-Nya muncul intelek pertama penggerak langit pertama.
b)      Intelek-intelek terpisah (al-uqul al-mufariqah), yang sepenuhnya berupa malaikat langit. Terdiri atas sembilan intelek yang dimulai dari intelek pertama penggerak langit pertama sampai intelek kesembilan penggerak planet bulan.
c)      Intelek aktif (al-aql al-fa’al), yang menjadi penghubung antara alam atas dengan alam bawah, alam realitas spiritual dengan realitas material.
d)     Jiwa manusia (al-nafs al-insaniyah).
e)      Bentuk (shurah), adalah bentuk kongkret dari hayula, dan
f)       Materi (hayula), adalah materi pembentuk benda yang bersifat non-fisik.
Menurutnya, tiga tingkat pertama merupakan wujud-wujud murni yang tidak ada kaitannya dengan bentuk-bentuk material, serta tingkat kedua dan ketiga mendapatkan pancaran dan berhubungan langsung dengan Tuhan tanpa perantara, sehingga tindakan-tindakannya dinilai sebaik-baiknya tindakan alam eksistensi.  Sedang tiga tingkat terakhir berhubungan dengan materi, walaupun substansi ketiganya tidak bersifat material, serta ketiga-tiganya tidak berhubungan langsung dengan Tuhan, melainkan melalui perantara intelek.
Adapun realitas-realitas material juga terdiri dari enam tingkatan, antara lain:
a.       Benda-benda langit atau angkasa (al-ajram al-samawiyah).
b.      Jasad-jasad manusia (ajsam al-adamiyyin).
c.       Binatang (ajsam al-hayawanat).
d.      Tumbuhan (ajsam al-nabatat).
e.       Mineral (ajsam al-ma’adan), dan
f.       Unsur-unsur pembentuk (al-istiqsat al-arba’ah), yang terdiri dari udara, air, api, dan udara.[30]
Dari aspek sifatnya, al-Farabi membagi aspek realitas wujud juga menjadi dua bagian: wujud potensial (wujud bi al-quwwah) dan wujud aktual (wujud bi al-fa’l). Dalam pandangannya, bentuk adalah prinsip ontologis yang lebih unggul daripada materi, karena bentuklah yang mengaktualkan materi. [31]  Oleh karena itu, wujud potensial bersifat kontingen (mumkin), sedang wujud aktual bersifat pasti.[32]
D.   Mempertemukan Agama dan Filsafat
Al-Farabi menyelesaikan masalah tersebut dengan konsepnya tentang intelek aktif. Al-farabi dianggap sebagai orang pertama yang memberikan kajian secara mendalam dan sistematis tentang persoalan wahyu dan rasio. Al-Farabi menyatakan bahwa orang yang menerima wahyu (nabi) berarti telah menerima ma’rifah dan hikmah, sehingga ia juga menyatakan bahwa nabi adalah seorang ahli filosof dan ahli hikmah, sedangkan seorang filosof dan ahli hikmah belum tentu seorang nabi. [33]
Dalam pandangannya, wahyu adalah sejenis proses pemahaman kosmik yang melalui intelek aktif untuk memehami essensi dari Sebab Pertama dan sebab-sebab sekunder (prinsip-prinsip benda langit) dengan mempunyai visi tentang Tuhan dan seluruh alam ruh. Namun, karena wahyu juga harus disampaikan kepada manusia, maka dari titik sang penerima, wahyu mengandung dua dimensi: teoritis (realitas-realitas spiritual dan intelektual seperti yang dilihat dan dipahami oleh nabi sendiri) dan praktis (undang-undang atau kebijaksanaan praktis yang disampaikan kepada manusia demi tercapainya kebahagiaan). [34]
Menurut al-Farabi, citra-citra dan lambang-lambang yang disampaikan oleh wahyu sebagai tiruan-tiruan kebenaran juga merupakan suatu yang sangat penting, karena bagi mereka yag tidak memiliki pengetahuan tentang filosofis, imitasi-imitasi citra dan lambang merupakan sarana yang sangat penting dalam memahami kebenaran. [35]Meski demikian, tidak ada alasan untuk meragukan keabsahan dan objektifitas wahyu yang diterima oleh seorang nabi, karena: (1) Nabi dikaruniai daya imajinasi yang kuat, (2) Kebenaran wahyu yang terhindar dari kesalahan dan kekeliruan, dan (3) kenyataan maknanya diakui oleh komunitas religius.[36]
Meski demikian, al-Farabi tetap membedakan antara wahyu yang diperoleh nabi dengan hasil renungan para filosof. Pertama, penerimaan wahyu oleh nabi bukan hanya melibatkan intelek melainkan juga daya kognitif lainnya, sedangkan dalam perenungan filosofis, hanya mengandalkan logika dan intelek (al-aql al-kulli). [37] Kedua, nabi tidak memerlukan aktifitas atau pelatihan-pelatihan yangyang melibatkan indera-indera internal atau ekternal, karena nabi telah diaugerahi bakat intelektual yang luar biasa,sepeerti yang telah dijelaskan diatas, sedangkan para filosof memerlukan pengembangan dan latihan-latihan, baik secara indera-indera internal maupun eksternal. Dengan demikian, al-Farabi menyelesaikan persoalan wahyu dan rasio lewat konsepnya tentang intelek aktif (al-aql al-fa’al).

BAB IV
CARA MENDAPATKAN PENGETAHUAN

Berkaitan dengan cara mendapatkan pengetahuan tersebut, dalam tradisi pemikiran Barat, ada empat cara, yaitu:
1)      Logika formal, adalah bentuk rasionalitas logika yang berkaitan erat dengan koherensi dan kebenaran universal.
2)      Penyelidikan empirik, adalah persepsi atau rasa inderawi atas dunia pengalaman dan wujud yang selalu berubah dalam ruang dan waktu tertentu.
3)      Pertimbangan normatif atau evaluatif, adalah pertimbangan lebih baik atau lebih buruk, benar atau salah, indah atau jelek, suci atau profan, dan seterusnya, tanpa meninggalkan logika formal dan penyelidikan empirik.
4)      Synoptic atau rasionalitas menyeluruh, adalah membentuk suatu sistem dari ide-ide umum yang koheren, logis dan tepat (necessary) yang dari sistem tersebut setiap unsur dari pengalaman manusia dapat diinterpretasikan. [38]
Sedang, al-Farabi mempunyai gagasan tersendiri tentang cara-cara mencapai pengetahuan ini. Namun, terlebih dahuluakan dibahas pandangannya tentang sarana-sarana yang digunakan untuk mencapai sebuah pengetahuan.
A. Sarana-Sarana yang Dibutuhkan
Dalam perspektif filsafat Barat, pandangan mereka tentang sarana pencapaian pengetahuan hanya meliputi indera eksternal (berkaitan dengan objek-objek empirik atau objek-objek yang kasat mata) dan rasio (berkaitan dengan objek-objek rasional). [39] Sedangkan dalam khazanah pemikiran Islam, sarana-sarana pencapaian pengetahuan terdiri dari tiga hal. Pertama, indera eksternal (al-hawas al-khams),yaitu alam fisis sensual dan berhenti pada batas kawasan rasio.[40] Kedua, rasio (aql), yang bekerja dalam kawasan abstrak dengan memenfaatkan input dari indera eksternal lewat imajinasi (khayal) dan estimasi (wahm) serta berhenti pada kawasan transenden.[41](Ghazali, Mi’yar, tt: 62-65) Ketiga, hati (qalb)yang mejelaskan objek-objek yang tidak dapat dijangkau oleh rasio.[42]
Berbeda dengan al-Ghazali, al-Farabi meyatakan bahwa pengetahuan manusia diperoleh dari tiga daya yang dimiliki, yaitu daya indera (al-quwwah al-hassah), daya imajinasi (al-quwwah al-mutakhayyilah), dan daya pikir (al-quwwah al-nathiqah), yang masing-masing disebut sebagai intelek eksternal, intelek iternal, dan intelek.
1.    Indera eksternal
Al-Farabi melukiskan bahwa manusia adalah biatang rasional (al-hayawan al-nathiq)yang lebih unggul dari mahluk-mahluk lainnya, karena memiliki kecerdasan(nuthq) dan kemauan (iradah) yang keduanya merupakan fungsi daya-daya kemampuan yang ada dalam diri manusia.(Farabi, tt: 91) Dalam Kitab Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadlilah, al-Farabi menjelaskan bahwa manusia mempunyai lima daya atau kemampuan. Pertama,daya vegetatif (al-quwwah al-ghadziyah), yaitu kemampuan tumbuh untuk menjadi besar dan dewasa. Kedua,daya penginderaan (al-quwwah al-hassah), yaitu menjadikan manusia bisa menerima dan merasakan rangsangan dari luar. Ketiga, daya imajinasi (al-quwwah al-mutakhayyilah), yaitu daya yang dapat memberikan kesan atas apa yang dirasakan meski objek telah tidak dalam jangkauan indera. Keempat, daya pikir (al-quwwah al-nathiqah) ,yaitu menjadikan manusia dapat memahami berbagai pengertian. Kelima,daya rasa (al-quwwah al-tarmi’iyyah), yaitu dapat memberikan kesan tantang suka atau tidak suka terhadap suatu objek.
Indera eksternal (al-hawas al-zhahirah) terdiri dari lima unsur, yaitu: penglihatan, penciuman, pendengaran, peraba, dan pengecap yang berkaitan dengan objek material. Kemampuan indera ini adalah kemampuan yang paling lemah dan terbatas, sehingga al-Farabi, al-Ghazali dan ibn Arabi meletakkan indera eksternal pada posisi yang paling rendah diantara indera-indera manusia.  Meski demikian, akal sehat tidak masuk dalam indera eksternal maupun indera internal. Al-Farabi menempatkan akal sehat pada posisi netral diantara kedua jenis indera tersebut. [43]
2.    Indera internal
Indera internal (al-hawas al-bathinah) adalah bagian dari jiwa yang mempunyai lima daya atau kemampuan yang tidak dimiliki oleh indera eksternal. Kelima daya tersebut adalah: Pertama, daya representasi (al-quwwah al-mumushawwirah), yaitu kemampuan untuk menyimpan bentuk-bentuk suatu objek, meskipun objek tersebut telah hilang dari jangkauan indera. Namun, bentuk-bentuk tersebut masih mempunyai ikatan materialnya, seperti ruang, waktu, kualitas dan kuantitas. Kedua,daya ingat (al-quwwah al-hafizhah), yaitu kemampuan untuk menyimpan entitas-entitas non-material yang ditangkap oleh wahm.[44] Ketiga, daya estimasi (al-quwwah al-wahmiyah), yaitu. Keempat, daya imajinasi rasional (al-quwwah al-mufakkirah), yaitu kemampuan imajinasi  yang memanfaatkan citra-citra yang telah tercipta lewat bantuan wahm,dan Kelima,daya imajinasi (al-quwwah al-mutakhayyilah), seperti yang telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya.
3.    Intelek (al ‘aql al-kulli)
Istilah “intelek” dalam bahasa arab, disebut akal (al-‘aql). Namun ia tidak sama dengan rasio yang juga terjemahan dari kata ‘aql. Al-Farabi memakai dua istilah tentang masalah ini: al-‘aql al-juz’i  yang diterjemahkan sebagai rasio dan al-‘aql al-kulli yang diterjemahkan sebagai intelek. Dalam konsep pencapaian keilmuan al-Farabi, intelek mempunyai dua kemampuan, yaitu: kemampuan teoritis (nazhari), yang digunakan untuk memahami objek-objek intelektual (al-ma’qulat), dan kemampuan praktis (‘amali), yang dapat membedakan satu sama lainnya sehingga kita dapat menciptakan atau mengubah dari kondisi satu ke kondisi lainnya. [45]
Selanjutnya, dalam Risalah fi Ma’ani al-Aql (Risalah tentang Makna-Makna Intelek), al-Farabi menjelaskan intelek dalam enam bagian, yaitu:
a.       Intelek yang oleh masyarakat awam dikenakan kepada orang-orang yang cerdas atau cerdik (perceptive) yang diistilakan sebagai ”kesepatakan umum”.
b.      Intelek yang digunakan untuk mengukur “kemasuk-akalan”.
c.       Intelek yang menghantarkan manusia untuk mengetahui  “prinsip-prinsip pembuktian (demonstration)” secara intuitif.
d.      Intelek sebagai “intelek praktis hasil pergumulan panjang manusia yang memberinya kesadaran tentang tindakan yang patut dipilih atau dihindari.
e.       Intelek yang mencakup empat bagian, antara lain:
1)      Intelek potensial (al-‘aql bi al-quwwah), yang berfungsi untuk mengabstraksikan dan menyerap esensi-esensi wujud.
2)      Intelek aktual (al-‘aql bi al-fi’l), yang berfungsi sebagai menyerap esensi-esensi wujud yang ada dalam intelek potensial sekaligus bersenyawanya bentuk-bentuk pemahaman atau persepsi hasil dari abstraksi tersebut.
3)      Intelek perolehan (al-‘aql al-mustafad), yang berfungsi sebagai proses lebih lanjut dari intelek aktual, yakni dapat melakukan proses pemahaman tanpa bantuan kekuatan lain (self-intellevtive). Dan menjadi tanda pucak kemampuan intelektual manusia sekaligus garis pembatas antara alam material dan intelegensi.[46]
4)      Intelek aktif (al-‘aql al-fa’al), yang merupakan intelek terpisah dan tertinggi dari semua intelegensi, yang merupakan perantara adi-kodrati (super mundane agency) yang memberdayakan intelek manusia agar dapat mengaktualkan pemahamannya untuk menyelaraskan filsafat (Yunani) dengan doktrin-doktrin keyakinan Islam.
f.     Intelek yang berpikir dan berswacita mengenai dirinya sendiri. Dalam teologi Islam, inilah yang disebut dengan Tuhan. Yang sepenuhnya bebas dari kenistaan dan ketidaksepurnaan. [47]
B. Tahap-tahap Perolehan Pengetahuan
1.    Pembentukan teori (tashawwur)
Teori ilmiah (tashawwur ma’a tasdhiq), yang muncul sebagai hasil dari uji rasional dan dibuktikan secara keilmuan. Dalam proses terjadinya sebuah konsep, al-Farabi menjelaskannya ada dua macam. Pertama, terjadi secara langsung tanpa didahului keinginan untuk mengetahuinya, karena konsepsi tersebut bersifat umum bagi setiap manusia yang dilengkapi watak alami (fithriyah) untuk mengetahuinya. Kedua, lewat penyelidikan induktif, yaitu suatu proses berpikir yang berusaha untuk menemukan universalitas dari kajian objek-objek partikular, sehingga tidak sama dengan metode induksi konvensional pada umumnya. Dalam proses penyelidikan induksi ini, ada tahapan-tahapan tertentu yang harus dijalani. Pertama-tama, dimulai dari tahap yang paling mudah dipahami oleh intelek, kemudian agak sulit, lebih sulit, dan seterusnya, hingga memperoleh kesimpulan-kesimpulan yang bersifat universal dan dengan adanya keterlibatan intelek dalam proses inteleksi (pemahaman) hingga bentuk-bentuk pengetahuan tersebut lepas dari materi serta tidak tergantung pada daya pengindera dan daya imajinasi. [48]
Selanjutnya, ketika intelek aktual mempunyai kemampuan seperti diatas, maka ia akan menjelma sebagai intelek perolehan. Dan apabila intelek perolehan tersebut bisa bersenyawa dengan intelek aktif, maka intelek perolehan dapat memperoleh pengetahuan langsung  dan menjadi wahana wahyu Ilahi.
2.    Penalaran logis
Al-Farabi menyebutkan bahwa ada tiga model penalaran, yaitu (1) Silogisme (qiyas), adalah suatu penalaran dimana premis-premis dirujukkan bersama yang dapat menimbulkan term tengah (al-hath al-ausath), sehingga sebuah konklusi niscaya menyertainya.[49] Selanjutnya, berdasarkan materi dan kualitas premis-premis, silogisme dibagi dalam dua bentuk. Pertama, silogisme demonstratif atau al-qiyas al-burhani (premis-premis yang benar, valid dan diperlukan). Kedua, silogisme dialektis atau al-qiyas al-jadali (premis-premis yang “mendekati keyakinan”). (2) Induksi (tashaffuh), adalah suatu bentuk pengujian atas setiap contoh khusus yang tergolong dalam subjek universal untuk menilai hal tersebut bersifat universal atau tidak, dan (3) Retorika (al-khutabi), adalah suatu bentuk penalaran yang didasarkan atas premis-premis yang kualitasnya hanya bersifat percaya semata (sukun an-nafs).[50]


C. Metode Ilmu Keagamaan dan Ilmu Filosofis
            Dalam Ihsha’ al-Ulum, al-Farabi membagi ilmu-ilmu menjadi empat bagian, antara lain:
1)      Metafisika, adalah ilmu yang mengkaji realitas-realitas non fisik yang terdiri atas: (1) Ontologi  (wujud dan sifat-sifatnya), (2) Prinsip-prinsip demonstatif (prinsip-prinsip pemikiran dan proses penalaran), dan (3) Wujud yang tidak berupa benda atau berada dalam benda.
2)      Matematika, adalah ilmu yang mempelajari bilangan (kualitas diskrit atau al-kam al-munfashilmmm) dan besaran (kualitas kontinu atau al-kam al-muttasil).
3)      Fisika, adalah ilmu yang mempelajari benda-benda bumi dan aksiden-aksidennya, serta yang berkenaan dengan sebab material, sebab efisien, sebab formal, dan sebab final.
4)      Politik, adalah ilmu yang mempelajari tentang bentuk-bentuk dan cara hidup sadar, serta mencakup perilaku manusia dan masyarakatnya yang berupa kehendak (iradah) dan pilihan (ikhtiyar).[51]
Secara metodologis, ilmu-ilmu filosofis menggunakan metode demonstrasi (burhani atau premis-premis yang valid, primer dan terbukti secara rasional), sedangkan ilmu-ilmu keagamaan menggunakan metode dialektik (jadali atau tidak mempersyaratkan diatas dasar premis-premis). Namun, al-Farabi menilai bahwa dalam ilmu-ilmu keagamaan, khususnya teologi, ia lebih menggunakan metode jadali, karena: Pertama, teologi (‘ilm al-kalam) digunakan untuk meneguhkan dan membela diri dari serangan pihak lain. Kedua, karena dalam ilmu-ilmu keagamaan lebih banyak didasarkan atas premis-premis yang diterima secara imani (tauqifi) atau karena dianggap telah mashur. [52]

BAB V
VALIDITAS PENGETAHUAN

Adalah kajian epistemologi yang membahas tentang keabsahan pengetahuan ataau suatu pernyataan. Untuk membuktikan validitas suatu pengetahuan, dalam pemikiran Barat dikenal tiga macam uji kebenaran. Pertama, korespondensi, adalah validitas pengetahuan yang ditentukan oleh kesesuaian dengan realitas (fidelity to objective reality). Kedua, konsistensi atau koherensi, adalah validitas pengetahuan yang diperoleh dari konsistensi (sesuai) dengan pernyataan-pernyataan lain yang telah diterima kebenarannya. Ketiga, pragmatik, adalah validitas yang diterima dari keterkaitannya dengan kemanfaatan (utility), kemungkinan dikerjakan (workability) atau memberikan akibat yang memuaskan (satisfactory result). [53]
A. Keunggulan premis
Menurut al-Farabi, validitas suatu pengetahuan didasarkan atas keshahihan premis-premis yang digunakan. Keunggulan premis merupakan faktor utama dalam penilaian validitas suatu pengetahuan.[54] Dalam penjelasanya, al-Farabi membagi premis-premis dalam empat tingkatan. Pertama, pengetahuan primer (al-maqulat al-ula), yaitu premis-premis yang mempunyai tingkat kebenaran yang pasti. Premis ini terbagi menjadi dua, yaitu: (1) Prinsip-prinsip primer (al-mabadi’ al-ula) yang berarti prinsip-prinsip yang bersifat pasti dan dipahami sebagai sesuatu yang telah lazim, dan (2) Aksioma-aksioma keyakinan (awail al-yaqin) yang berarti premis-premis atau teori-teori yang dihasilkan dari penelitian induktif metafisik (potensi intelek yang bersifat metafisik).(Farabi, Tahshi al-Sa’adah) Kedua, pengetahuan indera (al-mahsusat), yaitu premis-premis yang dihasilkan dari pengujian-pengujian lapangan. Ketiga, opini-opini yang umumnya diterima (al-masyhurat), yaitu premis-premis atau pernyataan-pernyataan yang diakui oleh semua orang atau mayoritas orang, atau oleh semua sarjana (ulama) dan orang-orang yang berakal (uqala) atau mayoritas mereka. Keempat, opini-opini yang diterima (al-maqbulat), yaitu premis-premis yang diterima lebih karena pertimbangan kepercayaan atau keimanan dan bukan karena kebenaran dan analisis rasional. [55]
B. Kesesuaian dengan tujuan akhir
Di samping derajat premis, validitas pengetahuan al-Farabi juga dikaitkan dengan tujuan akhir manusia. Menurut al-Farabi, tujuan akhir manusia adalah mencapai kebahagiaan tertinggi (al-sa’adah al-quswa) yang disamakan dengan kebaikan mutlak (al-khair ‘ula al-ithlaq), yaitu Tuhan, karena eksistensinya bebas dan tidak lagi membutuhkan materi. Ia menyatakan bahwa kebahagiaan manusia hanya bisa dicapai apabila seseorang mau dan mampu mengaktualisasikan nilai-nilai positif dirinya dalam kehidupan, dengan cara banyak berbuat kebajikan. Kebajikan ibagi menjadi dua, yaitu: (1) Kebajikan teoritis. Kebajikan teoritis dibagi menjadi tiga. Pertama, keutamaan intelek teoritis, adalah pengetahuan-pengetahuan primer yang bisa digunakan untuk mendapatkan pengetahuan-pengetahuan teoritis lain secara meyakinkan. Kedua, pengetahuan (al-ilm), adalah ilmu-ilmu yang meyakinkan tentang keberadaan objek-objek yang diperoleh lewat metode demonstatif yang didasarkan atas pengetahuan primer diatas. Ketiga, kebijaksanaan (al-hikmah), adalah pengetahuan tentang Yang Maha Esa dalam hubungannya dengan selain-Nya yang banyak dan beragam.(Farabi, 1961: 27 dan 42-44) (2) Kebajikan praktis, adalah pertimbangan-pertimbangan yang bisa atau memungkinkan bagi seseorang untuk memberikan keputusan tentang sesuatu saat dihadapkan pilihan-pilihan secara umum atas dasar pengalaman dan pengamatan pribadi.

C.  Pertimbangan Realisasi
Bagi al-Farabi, kehidupan masyarakat adalah sesuatu yang sangat penting dan tidak bisa diabaikan, karena ia sangat menentukan bagi kehidupan individu, termasuk sang filosof sendiri. Ia menegaskan bahwa seorang filosof harus menjadi agen pembaharu (agent of change) yang menuntun dan membawa masyarakatnya kepada kondisi ideal yang diidamkan. [56]
Menurut Mahdi, perhatian al-Farabi dalam realisasi pengetahuan adalah: Pertama, didasarkan atas hubungan antara wahyu dengan apa yang diketahui oleh rasio. Kedua, ketidakpuasannya terhadap pendekatan yang digunakan oleh para filosof muslim pada masa periode awal dan pendahulu Neo-platonik mereka pada masa Hellenistik.[57]
Oleh karena itu, apa yang diketahui oleh rasio bukan sesuatu yang lepas dari realitas melainkan harus direalisasikan dalam kenyataan. Artinya, validitas pengetahuan dan perenungan-perenungan metafisis bukan dinilai dari besarnya gagasa melainkan dapat direalisasikan dan mengubah tatanan masyarakat menjadi lebih baik.

BAB VI
PENUTUP

A.   Kesimpulan
1)   Sumber pengetahuan dalam konsep al-Farabi adalah intelek aktif (al-‘aql al-fa’al), yang sekaligus digunakan untuk mempertemukan agama dan filsafat. Menurutnya, agama dan filsafat berasal dari sumber yang sama, yaitu intelek aktif, sehingga keduanya tidak mungkin bertentangan.
2)   Pengetahuan dalam konsep epistemologi al-Farabi diperoleh lewat dua tahapan pokok: pembentukan teori (tashawwur) dan penalaran logis. Di antara penalaran logis saat itu, sistem demonstrasi (burhani) dinilai lebih valid dan unggul. Sarana yang dibutuhkan untuk mendapatkan pengetahuan terdiri atas tiga hal: indera eksternal, indera internal, dan intelek. Al-Farabi menyebut lima macam indera internal dan menempatkan daya imajinasi diatas daya rasional serta berfungsi sebagai penghubung dengan intelek aktif.
3)   Validitas pengetahuan diukur atas tiga hal, yaitu keunggulan premis, kesesuaiannya dengan tujuan akhir, dan kemungkinannya yang dapt direalisasikan. Tujuan akhir dalam keilmuan al-Farabi adalah kebahagiaan tertinggi yang dicapai dengan mengaktualisasikan seluruh potensi diri.
B.   Catatan
a.       Adanya sistem rasionalitas al-Farabi. Meski pemikiran al-Farabi didasarkan atas prinsip rasionalitas, tetapi rasionalitas al-Farabi dikaitkan dengan peran intuisi, yang disebut dengan istilah “rasional-irfani”.
b.      Adanya kecenderungan al-Farabi yang dekat dengan irfani tampaknya tidak lepas dari pribadi dan lingkungannya. Al-Farabi ditengarai oleh penganut Syiah dan hidup dalam lingkungan kekuasaan yang juga mengikuti paham Syiah. Ini menguatkan teori yang telah ada bahwa pemikiran seseorang tidak lepas dari siapa, kapan, dimana, dan bagaimana.
c.       Bagaimanapun rasionalnya sistem penalaran yang dikembangkan dalam Islam, paling tidak pada al-Farabi, ia tidak melepaskan diri dari ajaran wahyu dan realitas metafisik. Artinya, disana ada hubungan yang sangat dalam antara rasionalitas dan wahyu. Oleh karena itu, pengembangan keilmuan Islam di masa depan harus mempertimbangkan dan mencurahkan perhatian yang besar pada keterkaitan-keterkaitan tersebut.


DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Akbar S. 1988. “Discovering Islam Making Sence of Muslim History and Society“. London: Routledge dan Kegan Paul.
Arabi, Ibn. Tanpa tahun. “Fushush al-Hikam“, I. Beirut: Dar al-Kitab.
Atiyeh, George N. 1983. “Al-kindi Tokoh Filosof Muslim“, terj. Kasidjo. Bandung: Putaka.
Bagus, Lorens. 1996. “Kamus Filsafat“. Jakarta: Gramedia.
Bakar, Osman. 1997. “Hierarkhi Ilmu“, terj. Purwanto. Bandung: Mizan.
Black, Deborah L. 1996. “Al-Farabi“, dalam Husein Nasr dan Oliver Leaman, History of Islamic Philosophy, I. London and New York: Routledge.
Dabla, Bashir. 1992. “Ali Syariati dan Metodologi Pemahaman Islam“, dalam jurnal al-Hikmah, edisi 4. Bandung: Febr.
Din, Syams al-. 1990. “Al-Farabi, Hayatuh, Atsaruh, Falsafatuh“. Beirut: Dar al-Kutub.
Farabi, 1890. “Fi Ma Yanbaghi an-Yuqaddam Ta’allum al-Falsafah“, dalam Friedrich Dieterichi (ed), al-Tsamrah al-Mardliyah. Leiden: BJ. Brill.
Farabi. 1890. “Maqalah fi Ma’ani al-Aql“, dalam Friedrich Dieterichi (ed), al-Tsamrah al-Mardliyah. Leiden: BJ. Brill.
Farabi. 1890. “Risalah fi Jawab Masail Suila Anha“, dalam Friedrich Dieterichi (ed), al-Tsamrah al-Mardliyah. Leiden: BJ. Brill.
Farabi. 1890. “Risalah Fushush al-Hikam“, dalam Friedrich Dieterichi (ed), al-Tsamrah al-Mardliyah. Leiden: BJ. Brill.
Farabi. 1890. “Uyun al-Masa’il“, dalam Friedrich Dieterichi (ed), al-Tsamrah al-Mardliyah. Leiden: BJ. Brill.
Farabi. 1961. “Fushul al-Madani“ (Aphorisme of the Statesman), terj. dan ed. DM. Dunlop. Cambridge: Cambridge University Press.
Farabi. 1962. “Tahshil al-Sa’adah“ (The Attainment of Happines) dalam Muhsin Mahdi (terj. dan ed.), Philosophy of Plato and Aristoteles. New York: The Free Press.
Farabi. 1968. “Kitab al-Alfazh al-Musta’malah fi al-Manthiq“, (ed) Muhsin Mahdi. Beirut: Dar al-Masyriq.
Farabi. 1970. “Kitab al-Huruf“, (ed) Muhsin Mahdi. Beirut: Dar al-Masyriq.
Farabi. 1985. “Mabadi’ Ara’ Ahl al-Madina al-Fadlila“ (On the Perfect State), terj. dan ed. Richard Walzer. Oxford: Clarendon Press.
Farabi. 1996. “Ihsha’ al-Ulum“, (ed) Ali Bumulham. Mesir: Dar al-Hilal.
Farabi. Tanpa tahun. “Al-Madinah al-Fadlilah“, dalam Yuhana Qumair (ed), Falasifah al-Arab: al-Farabi. Beirut: Dar al-Masyriq.
Farabi. Tanpa tahun. “Al-Siyasah al-Madaniyah“, dalam Yuhana Qumair, Falasifah al-Arab: al-Farabi. Beirut: Dar al-Masyriq.
Ghalab, M. Tanpa tahun. “Al-Ma’rifah in Mufakkiri al-Muslimin“. Mesir: Dar al-Misriyah.
Ghazali. 1996. “Al-Munqidz Min al-Dlalal“, dalam Majmu’ah Rasail. Beirut: Dar al-Fikr.
Ghazali. 1996. “Misykat al-Anwar“, dalam Majmu’ah Rasail. Beirut: Dar al-Fikr.
Ghazali. Tanpa tahun. “Al-Maqshad al-Asna fi Syarh Asma Allah al-Husna“, (ed) M. Usman. Kairo: Maktabah al-Qur’an.
Ghazali. Tanpa tahun. “Mi’yar al-ilm“, (ed) Sulaiman Dunya. Kairo: Dar Ma’arif.
Hadiwijono, Harun. 1996. “Sari Sejarah Filsafat Barat“, I. Yogyakarta: Kanisius.
Hanafi, Hasan. Tanpa tahun. “Dirasat Falsafiyah“. Kairo: Maktabah al-Misriyah.
Hasymi. 1975. “Sejarah Kebudayaan Islam“. Jakarta: Bulan Bintang.
Iraqi,Athif. 1984. “Tsaurah al-Aql fi al-Falsafah al-Arabiyah“. Kairo: Dar al-Ma’arif.
Jabiri. 1990. “Bunyah al-Aql al-Arabi“. Bairut: Markaz al-Tsaqafah.
Kartanegara, Mulyadi. 2003. “Pengantar Epistemologi Islam“. Bandung: Mizan.
Kattsoff, Louis. 1996. “Pengantar Filsafat“, terj. Soejono Soemargono. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Khallikan, Ibn. Tanpa tahun. “Wafayat al-a’yan“, V. Beirut: Dar al-Syadir.
Leaman, Oliver. 1988. “Pengantar Filsafat Islam“, terj. Amin Abdullah. Jakarta: Rajawali Press.
Lexicon Universal Encyclopedia. 1990. New York: lexicon Publications.
Ma’ruf, Naji. 1976. “Al-Farabi Arabi al-Muwathin wa al-Murabbi“, dalam Hasan Bakar, al-Farabi Wa al-Hadlarah al-Insaniyah. Baghdad: Dar al-Huriyah.
Macmurray, John. 1933. “The Philosophy of Comunism“. London: Faber and Faber.
Madkour, Ibrahim. 1995. “al-Farabi” dalam MM. Syarif, A History of Muslim Philosophy, I. New Delhi: Low Price Publications.
Mahdi, Muhsin. 1992. “Al-Farabi and Fondation of Islamic Philosophy“, dalam Issa J. Boullata (ed), An Antology of Islamic Studies. Montreal: MC. Gill.
Mason, Stephen. 1962. “A History of the Science“. New York: Collier Books.
Nasr, Husein. 1972. “Sufi Essays“. Albany: SUNY Press.
Netton, Ian Richard. “Al-Farabi and His School“. London and New York: Routledge.
Qifthi. 1890. “Tarikh al-Hukama“, dalam Friedrich Dieterichi (ed), al-Tsamrah al-Mardliyah. Leiden: EJ. Brill.
Qumair, Yuhana. 1986. “Falasifah al-Arab: al-Farabi“. Beirut: Dar al-Masyriq.
Rahman, Fazlur. 2003. “Kenabian dalam Islam“, terj. Rahmani Astuti. Bandung: Pustaka.
Schoun, Frithjof. 1970. “Dimensions of Islam“. London: Allen dan Unwin.
Shadr, Baqir al-. 1999. “Talsafatuna“, terj. Nur Mufid. Bandung: Mizan.
Sou’eb, Yousouf. Tanpa tahun. “Sejarah Daulah Abbasiyah“, II. Jakarta: Bulan Bintang.
Syariati, Ali. 1992. “Humanisme Antara Islam dan Mazhab Barat“, terj. Afif Muhammad. Bandung: Pustaka Hidayah.
Titus, Harold et al. 1984. “Persoalan-Persoalan Filsafat“, terj. Rasjidi. Jakarta: Bulan Bintang.
Traverso, Buzzati. 1977. “The Scientific Enterprice, Today, and Tomorrow“. New York: UNESCO.
Ziai, Husein. 1998. “Suhrawardi dan Filsafat Illuminasi“, terj. Afif Muhammad. Bandung: Zaman.
Zidan, George. “Tarikh Adab al-Lughah al-Arabiyah“, I. Beirut: Dar al-Fikr.



[1] Syariati, Ali. “Humanisme Antara Islam dan Mazhab Barat“, terj. Afif Muhammad. (Bandung: Pustaka Hidayah.1992).hlm. 28
[2]  Stephen, Mason. "A History of the Science". (New York: Collier Books, 1962) hlm. 117
[3] Ziauddin, Sardar. 1987. “Masa Depan Islam“, terj. Muhyidin. (Bandung: Pustaka, 1987) hlm.86
[4] Mulyadi, Kartanegara. “Pengantar Epistemologi Islam“. Bandung: Mizan, 2003) hlm. 52
[5] Husein, Ziai. “Suhrawardi dan Filsafat Illuminasi“, terj. Afif  Muhammad. (Bandung: Zaman. 1998). Hlm. 141-143
[6]  Yousouf, Sou’eb. Tanpa tahun. “Sejarah Daulah Abbasiyah“, II. (Jakarta: Bulan Bintang). Hlm. 172
[7] Atiyeh, George N. “Al-kindi Tokoh Filosof Muslim“, terj. Kasidjo. Bandung: Putaka, 1983). hlm. 3
[8] Jabiri. “Bunyah al-Aql al-Arabi“. (Bairut: Markaz al-Tsaqafah, 1990), hlm. 195
[9] Atiyeh, 1983: 4
[10] Osman, Bakar. “Hierarkhi Ilmu“, terj. Purwanto. (Bandung: Mizan, 1997) 26
[11] Ibrahim, Madkour. “al-Farabi” dalam MM. Syarif, A History of Muslim Philosophy, I. (New Delhi: Low Price Publications, 1995), hlm. 184
[12] Muhsin, Mahdi. “Al-Farabi and Fondation of Islamic Philosophy“, dalam Issa J. Boullata (ed), An Antology of Islamic Studies. (Montreal: MC. Gill, 1992). Hlm. 11
[13] Khallikan, Ibn. “Wafayat al-a’yan“, V. (Beirut: Dar al-Syadir,  tanpa tahun), hlm.  155
[14] Bakar, 0p., Cit. 36
[15] (Zidan, 1996: 309-330)
[16] Bakar, op., Cit. 36
[17] Ma’ruf , Naji. “Al-Farabi Arabi al-Muwathin wa al-Murabbi“, dalam Hasan Bakar, al-Farabi Wa al-Hadlarah al-Insaniyah. Baghdad: Dar al-Huriyah). 1976. Hlm. 470
[18] Bakar, 1997: 38-39
[19] Bakar, 1997: 40
[20] Madkour 1995: 457
[21] Bakar, 1997: 45-46
[22] Qifthi. “Tarikh al-Hukama“, dalam Friedrich Dieterichi (ed), al-Tsamrah al-Mardliyah. Leiden: EJ. Brill, 1890). Hlm. 117
[23]Bakar, Op. Cit., hlm.62
[24] Ibid., hlm.64
[25] Titus, Harold et al. “Persoalan-Persoalan Filsafat“, terj. Rasjidi. (Jakarta: Bulan Bintang, 1984). Hlm. 199-204
[26] Farabi, 1970: 116-117
[27] Farabi, 1970: 115-118
[28] Kattsoff, Louis. “Pengantar Filsafat“, terj. Soejono Soemargono. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996) hlm. 156
[29] Iraqi,Athif. “Tsaurah al-Aql fi al-Falsafah al-Arabiyah“. Kairo: Dar al-Ma’arif, 1984), hlm. 110
[30] Farabi. “Mabadi’ Ara’ Ahl al-Madina al-Fadlila“ (On the Perfect State), terj. dan ed. Richard Walzer. Oxford: Clarendon Press, 1985). hlm. 100-108
[31] Ibid., hlm. 108
[32] Farabi. “Uyun al-Masa’il“, dalam Friedrich Dieterichi (ed), al-Tsamrah al-Mardliyah. (Leiden: BJ. Brill,1890). hlm.  57
[33] Bakar,op.cit.,hlm. 91
[34] Farabi,Op.cit., hlm.  26-28
[35] Farabiop.cit., hlm. 92
[36] Bakar, op.cit., hlm. 95
[37] Din, Syams al-. “Al-Farabi, Hayatuh, Atsaruh, Falsafatuh“. Beirut: Dar al-Kutub.1990). hlm. : 128)
[38]Titus, Harold et al. “Persoalan-Persoalan Filsafat“, terj. Rasjidi. (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm. 245-249
[39]Bagus, Lorens. “Kamus Filsafat“. (Jakarta: Gramedia,1996) hlm.  212-214
[40]  Ghazali. 1996. “Misykat al-Anwar“, dalam Majmu’ah Rasail. (Beirut: Dar al-Fiki, 1996). Hlm. 271
[41]Farabi. 1985. “Mabadi’ Ara’ Ahl al-Madina al-Fadlila“ (On the Perfect State), terj. dan ed. Richard Walzer. Oxford: Clarendon Press,1985). Hlm.164-170
[42] Ghazali, op.cit.,hlm. 539
[43] Bakar, op.cit., hlm. 70
[44] Farabi, Risalah fi, op.cit., hlm. 86
[45] Farabi, Risalah, op.cit., 1890, hlm. 72
[46] Farabi. 1890. “Maqalah fi Ma’ani al-Aql“, dalam Friedrich Dieterichi (ed), al-Tsamrah al-Mardliyah. (Leiden: BJ. Brill,1890), hlm.  39-46
[47] Farabi, Uyun, op.cit., hlm. 48
[48] Farabi, Risalah fi, op.cit., hlm. 45
[49] Farabi,  op., cit., hlm. 27
[50] Bakar, op.cit., 106-107
[51] Farabi, op., cit hlm. 45-79
[52] Farabi, ibid., hlm. 86-87
[53] Titus, op. cit.,hlm. 237-241
[54]Farabi, op. cit., hlm. 66
[55] Bakar, op.cit., hlm.106-107
[56] Black, Deborah L. “Al-Farabi“, dalam Husein Nasr dan Oliver Leaman, History of Islamic Philosophy, I. London and New York: Routledge,1996), hlm.183
[57] Mahdi op.cit., hlm.66

Tidak ada komentar:

Posting Komentar