ISLAM DAN MULTIKULTURALISME: ISLAM SEBAGAI
KOMUNITAS WACANA DAN SISTEM DUNIA
Oleh:
Umiati
(15770034)
A.
Pendahuluan
Gambaran dunia saat ini terasa sangat sempit. Futurolongn John Naisbit
dan Alvin Tofler menggambarkan keadaan seperti itu. Dunia merupakan suatu
kampung besar (global village) sebagimana yang dikemukakan oleh ahli komunikasi
Kanada, Mc Luhan. Di era globalisasi ini kita tidak dapat melepaskan diri dari
kehidupan global. Multikulturalisme berangkat dari kepercayaan bahwa
keberagamaan dan perbedaan adalah keniscayaan. Keberagamaan tersebut dari mulai
keberagamaan identitas, suku,budaya, gender tidaklah bersifat hirarkis. Tidak
ada sebuah identitas atau etnis yang lebih tinggi dari identitas yang lain.
Peristiwa-peristiwa yang karena penonjolan identitas dan penafian atas
identitas yang lain, dipenuhi oleh tindak kekerasan dan anarkisme seperti
tergambar dalam pembersihan etnis (ethnic
cleansing), intimidasi dan pengusiran terhadap umat yang berbeda keyakinan,
terhadap umat yang berbeda pemahaman keagamaan dan juga terhadap perempuan.[1]
Islam sendiri adalah agama yang mengajarkan umatnya untuk menghargai
keberagaman dan perbedaan. Dalam Al-Qur’an dan hadis banyak kita temukan
contoh-contoh konkrit bagaimana Islam seharusnya bersikap dan menyikapi
perbedaan itu. Sejumlah ayat-ayat Al-Qur’an menegaskan tentang etika sosial ini,
pentingnya umat Islam menyakini kebenaran agamanya, tapi pada saat yang sama ia
mengingatkan perlunya menjaga keseimbangan didalam berinterakasi dengan
komunitas lain, siapapun itu. Sebagai sebuah gagasan, multikulturalisme bukan
hanya toleransi moral ataupun kebersamaan yang pasif semata, melainkan sebuah
kesediaan untuk melindungi dan mengakui kesetaraan dan rasa persaudaraan
diantara sesame manusia, terlepas dari adanya perbedaan asal usul etnis,
keyakinan, kepercayaan dan agama yang dianut.[2]
Pertentangan etnis yang terjadi dalam ataupun luar negeri ini beberapa tahun terakhir ini
mengajarkan betapa pentingnya pendidikan multikultural bagi masyarakat,
meskipun bangsa secara formal mengakui keragaman, namun dalam kenyataannya
tidak. Sudah sejak lama sistem pendidikan kita terpenjara dalam pemenuhan
target sebagai akibat dari kapitalisme yang telah menguasai negeri, sehingga
memunculkan apa yang disebut dengan konsep link
and match. Dengan demikian pendidikan tidak lebih dari pabrik raksasa yang
menghasilkan tenaga kerja terampil, namun dengan bayaran murah.[3]
Di dunia Islam terbentang luas dari Maroko sampai Indonesia dari kazakhtan
samapi sinegal. Masa sebelumnya lebih dari 14 abad, sampai datngnya dakwah
Muhammad di Arabia pada abad ke-7 M dan kreasi masyarakat serta negara Islam
berada dinegara kekuasaannya. Pada peiode yang para ahli yang sejarah Eropa
lihat sebagai sebuah jeda kegelapan antara kemunduran peraban kuno-Yunani dan
Roma dan munculnya peradaban Modern-Eropa, Islam merupakan budaya yang mashur
di dunia, dikatakan demikian karena kerajaan-kerajaan Islam yang besar dan
kuat, kekayaan, industri dan perdagangannya beraneka ragam pengetahuan antara
Timur kuno dan Barat modern yang mana Islam memberikan sumbangan penting. Tapi,
selama 3 abad yang lalu, dunia Islam telah hilang dominasi dan kepemimpinannya
dan telah jatuh berada di belakang Barat yang modern dan mengadakan modernisasi
orentasi secara cepat.[4]
Negara Indonesia adalah salah satu negara multikultural terbesar di dunia,
karena kondisi sosial-budaya maupun geografis yang begitu beragam dan luas[5]
menyebabkan Indonesia menjadi negara yang multi etnis, multi ras, multi budaya,
dan multi agama. Wilayahnya yang luas yang terdiri dari ribuan pulau, keragaman
budaya, suku, ras dan agama adalah kekayaan yang dimiliki bangsa ini. Keragamaan
kebudayaan oleh masyrakat lazim disebut multikultural. Kemajemukan ini menurut
Azra sebagai blessing in disguise bagi bangsa Indonesia. Karena
mengelola kemajemukan sesungguhnya merawat Indonesia. Dalam catatan suparlan
terdapat kurang lebih 500 suku bangsa yang menghuni wilayah Indonesia dari
propinsi Aceh sampai Papua. Keragaman ini meniscayakan lahirnya pluralitas
budaya, karena memang suatu keniscayaan sejarah bagi bangsa Indonesia. Adanya motto Bhineka Tunggal Ika sesungguhnya mereleksikan kemajemukan ini, dan
sekaligus mengandung cita-cita memayungi kemajemukan sebagi kekayaan dan
kekuatan.[6]
Dari pernyataan di atas maka penulis akan membahas berbagai pendapat
tentang Pengerian Islam dan multikulturalisme, Multikultural Islam, Islam dan Dunia Multikultural, .
B. Pengertian Islam dan Multikulturalisme
Islam secara terminologi adalah agama yang diturunkan oleh Allah
kepada manusia melalui Rasul-Nya yang berisi hukum yang mengatur hubungan
manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan alam semesta. Islam adalah
agama Allah yang di perintah untuk mengajarkan pokok-pokok dan peraturan-peraturannya
kepada Nabi Muammad SAW dan menugaskan untuk menyampaikan agama itu kepada
seluruh manusia, lalu mengajak mereka untuk memeluknya.
Multikulturalisme berasal dari kata Multi yang berarti plural, cultural yang berarti kultur atau budaya dan isme yang berarti paham
atau aliran.
Multikulturalisme adalah sebuah filosofi terkadang ditafsirkan sebagai ideology yang menghendaki adanya persatuan dari berbagai kelompok kebudayaan dengan hak dan status social politik yang sama dalam masyarakat modern.[7]
Multikulturalisme adalah sebuah filosofi terkadang ditafsirkan sebagai ideology yang menghendaki adanya persatuan dari berbagai kelompok kebudayaan dengan hak dan status social politik yang sama dalam masyarakat modern.[7]
Multikulturalisme Menurut Al Qur’an. Kita perlu kembali merenungkan
berbagai ajaran yang telah disampaikan Allah melalui para Rasul-Nya, yang
terdapat dalam kitab Suci Al Qur’an. Kita hendaknya mampu mengoptimalkan peran
agama sebagai faktor integrasi dan pemersatu. Al Qur’an, misalnya, memuat banyak sekali ayat yang
bisa dijadikan asas untuk menghormati dan melakukan rekonsiliasi di antara
sesama manusia. Dalam tulisan ini dapat dikemukkan contoh sebagai berikut;.
Pertama, Al Qur’an menyatakan bahwa; dulu manusia adalah umat yang satu.
(setelah timbul perselisihan) maka, Allah mengutus para Nabi, sebagai pemberi kabar
gembira dan pemberi peringatan. Dan Allah menurunkan bersama mereka kitab yang
benar, untuk memberikan keputusan diantara manusia tentang perkara yang mereka
perselisihkan.
tb%x. â¨$¨Z9$# Zp¨Bé& Zoy‰Ïnºur y]yèt7sù ª!$# z`¿ÍhŠÎ;¨Y9$# šúïÌÏe±u;ãB tûïÍ‘É‹YãBur tAt“Rr&ur ãNßgyètB |=»tGÅ3ø9$# Èd,ysø9$$Î/ zNä3ósuŠÏ9 tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# $yJŠÏù (#qàÿn=tF÷z$# ÏmŠÏù 4 $tBur y#n=tG÷z$# ÏmŠÏù žwÎ) tûïÏ%©!$# çnqè?ré& .`ÏB ω÷èt/ $tB ÞOßgø?uä!%y` àM»oYÉit6ø9$# $JŠøót/ óOßgoY÷t/ ( “y‰ygsù ª!$# šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä $yJÏ9 (#qàÿn=tF÷z$# ÏmŠÏù z`ÏB Èd,ysø9$# ¾ÏmÏRøŒÎ*Î/ 3 ª!$#ur “ωôgtƒ `tB âä!$t±o„ 4’n<Î) :ÞºuŽÅÀ ?LìÉ)tGó¡•B ÇËÊÌÈ
Artinya: “ Manusia
itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan), Maka Allah mengutus
Para Nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka
kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara
yang mereka perselisihkan. tidaklah berselisih tentang kitab itu melainkan
orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, Yaitu setelah datang kepada
mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri.
Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal
yang mereka perselisihkann itu dengan kehendak-Nya. dan Allah selalu memberi
petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus”. (QS Al Baqarah:
213)
Dengan ayat ini, Al-Qur’an menegaskan
konsep kemanusiaaan universal Islam yang mengajarkan bahwa umat manusia pada
mulamya adalah satu. Perselisihan terjadi disebabkan oleh timbulnya berbagai vested
interest masing-masing kelompok manusia. Yang masing-masing mereka
mengadakan penafsiran yang berbeda tentang suatu hakekat kebenaran menurut vested
interest nya.
Kedua, meskipun asal mereka adalah
satu, pola hidupnya menganut hukum tentang kemajemukan, antara lain karena
Allah menetapkan jalan dan pedoman hidup yang berbeda-beda untuk berbagai
golongan manusia. Perbedaan itu seharusnya tidak menjadi sebab perselisiahan
dan permusuhan, melainkan pangkal tolak bagi perlombaan untuk melakukan
berbagai kebaikan. Al Qur’an menyebutkan :“ Untuk tiap-tiap manusia diantara
kamu, Kami berikan jalan dan pedoman hidup. Sekiranya Allah menghendaki,
niscaya kamu dijadikannya satu umat saja. Tetapi Allah hendak menguji kamu
terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebaikan. Hanya
kepada Allah-lah kembali kamu semua, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang
telah kamu perselisihkan itu.[8]
Sehingga dari kedua ayat
diatas dapat saya tarik kesimpulan bahwa, betapapun perbuatan yang terjadi pada
manusia di bumi ini, namun hakekat kemanusiaan akan tetap dan tidak akan
berubah. Yaitu fitrahnya yang hanif, sebagai
wujud perjanjian primordial (azali) antara Tuhan dan Manusia sendiri. Responsi
atau timbal balik manusia kepada ajaran tentang kemanusiaan universal adalah
kelanjutan dan eksisitensialisme dari perjanjian primordial itu dalam hidup di
dunia ini.
Dari pengertian diatas dapat
disimpulkan bahwa Islam adalah suatu nama bagi agama yang ajaran-ajarannya
diwahyukan Allah kepada manusia melalui seorang Rasul. Ajaran-ajaran yang
dibawa oleh Islam merupakan ajaran manusia mengenai berbagai segi dari
kehidupan manusia. Islam merupakan ajaran yang lengkap, menyeluruh dan sempurna
yang mengatur tata cara kehidupan seorang muslim baik ketika beribadah maupun
ketika berinteraksi dengan lingkungannya. Sedangkan Multikulturalisme adalah
sistem keyakinan dan perilaku yang mengakui dan menghormati kehadiran semua
kelompok yang beragam dalam suatu organisasi atau masyarakat, mengakui
sosial-budaya mereka yang berbeda, dan mendorong dan memungkinkan kontribusi
melanjutkan mereka dalam konteks budaya inklusif yang memberdayakan semua dalam
organisasi atau masyarakat.
Islam adalah agama universal
yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, persamaan hak dan mengakui
adanya keragaman latar belakang budaya dan kemajemukan. Multikultural menurut
Islam adalah sebuah aturan Tuhan (sunnatullah) yang tidak akan berubah, dan tidak
akan dilawan atau diingkari. Setiap orang akan menghadapi kemajemukan dimanapun
dan dalam hal apapun.[9]
C. Multikultural Islam
Multikulturalisme
adalah kesediaan menerima kelompok lain secara sama sebagai kesatuan, tanpa
mempedulikan perbedaan budaya, etnik, jender, bahasa, ataupun agama. Dalam
konteks tersebut, memperbincangkan diskursus Islam multikultural di Indonesia
menemukan momentumnya. Sebab, selama ini Islam secara realitas seringkali
ditafsirkan tunggal bukan jamak atau multikultural. Padahal, di Nusantara
realitas Islam multikultural sangat kental, baik secara sosio-historis maupun
glokal (global-lokal). Secara lokal, misalnya, Islam di nusantara dibagi oleh
Clifford Geertz dalam trikotomi: santri, abangan dan priyayi; atau dalam
perspektif dikotomi Deliar Noer, yaitu Islam tradisional dan modern; dan masih
banyak lagi pandangan lain seperti liberal, fundamental, moderat, radikal dan
sebagainya. Secara sosio-historis,
hadirnya Islam di Indonesia juga tidak bisa lepas dari konteks multikultural sebagaimana
yang bisa dibaca dalam sejarah masuknya Islam ke Nusantara yang dibawa oleh
Walisongo. [10]
Selanjutnya,
menjadikan Islam multikultural sebagai topik atau wacana masih menarik dan perlu
disebarluaskan. Hal ini setidaknya karena tiga alasan. Pertama, situasi dan
kondisi konflik. Di tengah-tengah keadaan yang sering konflik, Islam
multikultural menghendaki terwujudnya masyarakat Islam yang cinta damai,
harmonis dan toleran. Karenanya, cita-cita untuk menciptakan dan mendorong
terwujudnya situasi dan kondisi yang damai, tertib dan harmonis menjadi agenda
penting bagi masyarakat dunia, termasuk Indonesia. Di tanah air, kasus konflik
sosial di Poso, Ambon, Papua, Kasus Bom Bali dan daerah
lain merupakan pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan bersama.
Kedua, realitas
yang bhinneka. Kebhinnekaan agama, etnis, suku, dan bahasa menjadi keharusan
untuk disikapi oleh semua pihak, terutama umat Islam di Indonesia. Sebab,
tanggung jawab sosial bukan hanya ada pada pemerintah tapi juga umat beragama.
Dengan lain kata, damai-konfliknya masyarakat juga bergantung pada kontribusi
penciptaan suasana damai oleh umat beragama, termasuk kaum Muslimin di negeri
ini.
Ketiga, norma
agama. Sebagai sebuah ajaran luhur tentu agama menjadi dasar yang kuat bagi
kaum agamawan pada umumnya untuk membuat kondisi agar tidak carut-marut. Dalam
hal ini, tafsir agama diharapkan bukan semata-mata mendasarkan pada teks,
tetapi juga konteks agar maksud teks bisa ditangkap sesuai makna zaman.
Perdebatan antara aliran ta`aqqully yang mendasarkan pada kekuatan rasio/akal
dan aliran ta`abbudy yang menyandarkan pada aspek teks telah diwakili oleh dua
aliran besar, yaitu Mu`tazilah dan Asy`ariyah, bisa menjadi pelajaran masa lalu
yang amat menarik.
Multikulturalisme
sangat penting dan menarik untuk diulas lebih detail karena dilatar belakangi oleh pemikiran antara lain:
a)
Perlunya sosialisasi bahwa pada dasarnya semua
agama datang untuk mengajarkan dan menyebarkan damai dan perdamaian dalam
kehidupan ummat manusia.
b)
Wacana agama yang toleran dan inklusif merupakan
bagian tak terpisahkan dari ajaran agama itu sendiri, sebab multi kultur,
semangat toleransi dan inklusivisme adalah hukum Tuhan atau Sunnatullah yang
tidak bisa diubah, dihalang-halangi dan ditutup-tutupi.
c)
Adanya kesenjangan yang jauh antara cita-cita
ideal agama-agama dan realitas empirik kehidupan ummat beragama di tengah
masyarakat.
d)
Semakin menguatnya kecenderungan eksklusivisme dan
intoleransi di sebagian ummat beragama yang pada gilirannya memicu terjadinya
konflik dan permusuhan yang berlabel agama.
e)
Perlu dicari upaya-upaya untuk mengatasi
masalah-masalah yang berkaitan dengan kerukunan dan perdamaian antar ummat
beragama.[11]
Multikulturalisme
merupakan salah satu ajaran Tuhan yang sangat berguna dan bermanfaat bagi ummat
manusia dalam rangka untuk mencapai kehidupan yang damai di muka bumi, hanya
saja prinsip-prinsip multikulturalisme itu sering tercemari oleh
perilaku-perilaku radikalisme, eksklusivisme, intoleransi dan bahkan “fundamentalisme”.
Hal ini dapat diatasi apabila kita bisa menjadikan iman dan taqwa berfungsi
dalam kehidupan yang nyata bagi bangsa dan negara.[12]
Bila
iman dan taqwa itu telah berfungsi dalam kehidupan kita masing-masing dan agama
telah berfungsi dalam kehidupan masyarakat , berbangsa dan bernegara, maka
perilaku-perilaku radikalisme, ekseklusivisme, intoleransi dan “fundamentalisme”
akan terhindar dari diri ummat beragama dan kita akan menjalani hidup yang
demokratis yang penuh dengan kebersamaan dan persaudaraan. Dengan demikian akan tercipta keharmonisan
hidup berbangsa dan bernegara dan terhindar dari konflik-konflik yang bernuansa
agama.
1.
Keanekaragaman Dalam Islam
Dalam
tulisannya yang berjudul Islam dan Multikulturalisme, Samsul Rizal Panggabean[13] memberikan
gambaran mengenai pandangan Islam tentang Multikulturalisme. Multikulturalisme dalam dua arah pembicaraan,
yaitu : multikulturalisme dari komunitas Muslim (Multikulturalisme
Internal) dan komunitas agama-agama lain (Multikulturalisme Eksternal).
a. Multikulturalisme Internal Multikulturalisme Internal merupakan keanekaragaman
internal dikalangan umat Islam, menunjukkan bahwa kebudayaan Islam itu majemuk
secara internal. Dalam hal ini, kebudayaan Islam serupa dengan kebudayaan
lainnya kecuali kebudayaan yang paling primitif. Kemajemukan internal ini
mencakup antara lain :Bidang pengelompokan sosial, Bidang fiqh, Bidang teologi, Bidang tasawuf dan dimasa modern seperti politik
kepartaian.
b.
Multikulturalisme Eksternal Multikultural eksternal ditandai dengan pluralitas komunal-keagamaan,
merupakan fakta yang tidak dapat dihindari dalam kehidupan masyarakat Muslim.
Lebih dari itu, multikulturalisme juga menjadi semangat, sikap, dan pendekatan
terhadap keanekaragaman budaya dan agama. Sebagai bagian dari kondisi yang
majemuk, umat Islam terus berinteraksi dengan umat dari agama-agama lain.
Melalui proses interaksi, umat Islam diperkaya tradisi keagamaan lain, dan umat agama lain memperkaya
dan diperkaya tradisi keagamaan Islam.[14]
D. Islam dan Dunia Multikultural
Dalam sejarah belum pernah di sebutkan bahwa Islam dan kaum Muslimin
menyebar diberbagai penjuru dunia. Kekuasaan politik kaum muslimin pada abad
pertengahan dan pramodern memang pernah menjangkau Eropa Barat, seperti Spanyol
dan Eropa Timur, tetapi di abad globalisasi ini. Islam dan kaum muslimin hadir
secara signifikan meski tanpa kekuasaan politik hampir diseluruh penjuru manca
Negara, khususnya di Eropa, Amerika Utara dan Australia.
Penulisan makalah ini mengambil contoh dari Uni Eropa, Islam dan kaum
muslimin hadir kian nyata. Kini populasi kaum muslimin sekitar 3 persen dari
total penduduk Uni Eropa, dan persentase ini akan mencapai sekitar kurang dari
10 persen menjelang 2025. Memang, pertumbuhan jumlah kaum muslimin Uni Eropa sangat cepat berkat
imigrasi, perkawinan campuran, dan angka kelahiran yang tinggi, tetapi tetap
saja sulit membayangkan, kaum muslimin kelak menjadi mayoritas penduduk Uni
Eropa menjelang akhir abad ke-21, seperti pernah diklaim sarjana Yahudi,
Bernard Lewis.
Bagi mereka yang tidak selalu bersahabat dengan Islam, pertumbuhan
kaum muslimin diberbagai penjuru dunia sering dikomentari dengan pernyataan
yang mendorong penguatan ‘Islamo Phobia’. Ada yang menyatakan, Islam dan kaum
muslimin sedang dalam long march untuk
mengklonisasi dan menaklukan Eropa. Lebih jauh, sikap ‘Islamo-phobia’
ini terlihat juga dalam ungkapan yang kian popular pada sejumlah kalangan
masyarakat Eropa non-Muslim, bahwa Uni
Eropa tengah berubah menjadi ‘Eurabia’ dengan ibu kota ‘Londonistan’.
Hal-hal seperti ini, tak bisa lain menambah kekhawatiran, ketakutan, dan sikap
bermusuhan dari sebagian masyarakat local terhadap Islam dan kaum Muslimin yang
hidup diwilayah mereka.
Dari perspektif Internal kaum muslimin sendiri, kehadiran mereka yang
kian banyak di wilayah belahan Dunia Barat, semestinya membuat mereka harus
lebih mengembangkan toleransi diantara kaum muslimin yang datang dari berbagai tradisi
keislaman, etnisitas dan sosio-kultural. Kaum muslimin sebaiknya lebih
mengembangkan sikap tasamuh diantara mereka, bukan sampai yang terjadi sampai
saat ini, yakni terus berlangsungnya pertengkaran konsistensi pengaruh dan
kekuasaan, serta konflik sectarian. Semua ini jelas bukan contoh yang baik bagi
masyarakat non-muslim tempat mereka mencari nafkah dan kehidupan.
Dalam konteks eksternal, kaum Muslimin yang bermukim dan hidup di
Dunia Barat, sebaiknya juga mengembangkan sikap multikultural dalam
hubungan dengan masyarakat diluar mereka. Mereka sebaiknya menahan diri untuk
tidak memperlakukan Negara dan masyarakat yang merupakan tempat kehidupan baru
mereka seperti tanah air asli mereka. Bagaimanapun, kaum muslimin harus
mengembangkan sikap multikultural, menghormati dan menoleransi tradisi politik, sosial-budaya
masyarakat setempat, tidak memaksakan keinginan mereka sendiri, yang bahkan
dinegara asal mereka sendiri tidak bisa mereka lakukan.[15]
Sensitivitas multikultural seperti itu penting dikembangkan kaum muslimin, jika Islam dan
mereka sendiri ingin tidak disalah pahami dan bahkan dimusuhi masyarakat
setempat. Gejala sikap bermusuhan itu dan ‘Islamo-Phobia’ dengan
munculnya kelompok rasis kulit putih yang anti para imigran, khususnya kaum
muslimin. Pada saat yang sama, pemerintah dan masyrakat Barat semestinya
mengembangkan kebijakan multikultural yang lebih konsisten dan kondusif bagi kehidupan multikultural lebih
baik lagi. Dikalangan masyarakat Barat sendiri pasca peristiwa 11 september di AS,
bom Madrid 12 maret 2004, bom London 7 Juli 2005 mulai muncul pertanyaan tentang
manfaat kebijakan multikultural yang selama ini meraka kembangkan bagi Negara-bangsa mereka.
Alasannya, masyarakat minoritas seperti kaum muslimin. Menurut mereka, ternyata
menggunakan kebijakan multikultural untuk membangun Isolasionalisme dan cultural enclave yang
terpisah dengan masyarakat lainnya. Di Inggris misalnya, kian nyaring
suara-suara yang menuntut penghapusan kebijakan multikultural, dan
sebaliknya mengadopsi kebijakan monokultural, yang pada intinya menekankan
integrasi kelompok-kelompok minoritas kedalam budaya local atau nasional
dominan.
Dengan kebijakan multikultural, sepatutnya juga Negara-negara Barat
mengadopsi Islam dan budaya Muslim sebagai bagian integral dari identitas
mereka. Karena itu, undang-undang dan peraturan perundangan, misalnya tentang
penodaan agama yang sampai saat ini hanya berlaku untuk agama Kristen dan
Yahudi, sudah sepatutnya juga mencakup Islam. Dengan begitu, kaum Muslimin yang
sudah beberapa generasi hidup di Barat, tidak terus mengalami berbagai bentuk
deskriminasi baik terhadap Islam maupun mereka sendiri dalam kehidupan
sehari-hari. Azyumardi Azra menyatakan bahwa
hanya dengan sensitivitas timbal balik dan sikap
multikultural yang proporsional diantara kedua belah pihak masyarakat ini,
Islam dan kaum Muslimin dapat menghilangkan perasaan terasing dan
terdiskriminasi hidup di Barat. [16]
Dari penulisan artikel tersebut dapat penulis simpulkan bahwa dalam
sejarah Islam menyebar di berbagai penjuru dunia seperti Eropa Barat, Spanyol dan Eropa Timur, tetapi
di abad globalisasi ini. Islam dan kaum muslimin hadir secara signifikan meski
tanpa kekuasaan politik hampir diseluruh penjuru manca Negara, khususnya di
Eropa, Amerika Utara dan Australia. Perkembangan masyarakat muslim di berbagai
penjuru dunia ada beberapa pendapat, pendapat pertama secara perspektif Internal kaum muslimin sendiri, kehadiran mereka yang kian
banyak di wilayah belahan Dunia Barat, lebih mengembangkan toleransi diantara
kum muslimin yang datang dari berbagai tradisi keislaman, etnisitas dan
sosio-kultural. Sedangkan pendapat kedua Dalam konteks eksternal, kaum Muslimin
yang bermukim dan hidup di dunia Barat, mengembangkan sikap multikultural dalam
hubungan dengan masyarakat diluar mereka.
D.
Islam Multikulturalisme Sebagai Wacana dan
Gerakan
Dalam diskursus intelektual Islam sendiri isu tentang minoritas
Muslim di dalam mayoritas non-Muslim ataupun negara sekuler tampak belum digali
secara memadai. Menerut Khaled Abou Al Fadl,[17]
hingga kira-kira berakhirnya Imperium Turki Utsmani, diskursus minoritas
didalam fikih hanya terbatas sebagai wacana boleh atau tidak boleh seorang
Muslim hidup ditengah mayoritas non- Muslim karena di duga mereka akan
mengalami kesulitan dalam menjalankan agamanya dan mungkin mengalami
diskriminasi. Bahkan, Abou al Fadl, Imam Hanafi tercatat mengharamkan seorang
Muslim tinggal di negara atau komunitas mayoritas non-Muslim. Di masa modern,
organisasi konferensi Islam (OKI) yang merupakan salah satu representasi
masyarakat dan negara Islam di dunia tidak memasukkan mandat dalam pendiriannya
tentang minoritas Muslim. Baru tahun 1970-an OKI memberikan perhatian terhadap
minoritas Muslim namun masih sangat terbatas dalam kasus-kasus yang dianggap
krusial dan terjangkau.[18]
Menurut Syed Z.
Abidin,[19] ada
dua cara melihat minoritas Muslim di negara mayoritas non-Muslim atau sekuler,
yaitu aspek ekspresi kultural dan aspek keyakinan atau idea. Aspek kultural
misalnya, berkaitan denga tradisi berpakaian, beribadah, bahasa khas yang
dipakai dan lain sebagainya. Aspek keyakinan atau aspek idea yaitu tentang
keyakinan akidah yang berbeda dengan mayoritas, dan juga nilai-nilai idea
lainnya seperti kehidupan setelah mati dan cita-cita hidup. Namun dalam
keduanya, menurut Abidin, perlu mendorong minoritas Muslim untuk memperkuat dan
menunjukkan identitas dan kultural khas mereka ketika hidup di tengah
mayoritas. Dengan demikian, minoritas Muslim juga perlu menyadari akan perbedaan
dan saling menghargai diantara mereka. Sehingga ekspresi Kultural dan Idealitas
atau identitas sebagai Muslim yang baik tidak tidak perlu dikontraskan dengan
sistem komunitas atau negara di mana dia hidup. Menurut Abidin, menjadi wrga
negara yang baik dalam suatu negara mayoritas non-Muslim atau sekuler dalam
waktu yang sama dan tetap bisa menjadi Muslim yang baik.[20]
Dalam perspektif
multikultural, menurut Kymlicka misalnya, baik minoritas pribumi maupun imigran
memiliki hak yang sama dengan mayoritas dalam kejederajatan sosial, ekonomi,
politik serta kewarganegaraan tidak hanya dalam hal-hal yang bersifat ritual
ekspresional melainkan juga hal politik dan pengelolaan atas tanah seperti self-government.
Hanya saja menurut kymlicka, mereka dibedakan ketika menjadi imigran dan
pribumi. Minoritas imigran umumnya tidak memiliki hak untuk pemerintahan
sendiri apalagi merdeka mengingat para imigran pada umumnya bersifat sukarela
atau voluntary. Sedangkan minoritas pribumi memungkinkan melakukan
tuntutan tersebut, hanya saja tergantung pada proses politik dinegara
masing-masing.[21]
Gerakan-gerakan
minoritas yang menuntut pemisahan diri atau otonomi, termasuk di Filipina selatan
maupun Thailand Selatan. Hampir selalu dicari-cari kaitannya dengan gerakan
terorisme internasional yang menggunakan Islam sebagai gerakan. Meskipun banyak
laporan yang kemudian membuktikan bahwa gerakan-gerakan itu bersifat lokal dan
tidak terkait langsung denagn terorisme internasional,[22] namun
yang paling menonjol adalah ketika gerakan ini disamaratakan begitu saja dengan
gejala fundamentalisme Islam atau gerakan Islamis dalam politik.
Melekatnya identitas
kultural dan agama hampir menjadi ciri khas dari masyarakat Asia Tenggara.
Menurut Lee Hock Guan,[23]
misalnya, tradisi Ikatan etnisitas dan komunalitas di Asia Tenggara jauh lebih
kuat ketimbang di Eropa dan di Amerika Serikat. Di Amerika Serikat, menurut
Guan civil society lebih terbangun berbasis pada kelas menengah seperti
perdagangan, industriawan dan intelektual. Sementara di Asia Tenggara, lanjut
Guan, civil society terbangun lebih berbasis pada ikatan etnisitas,
agama dan kelompok-kelompok sosial kultural. Karena itu, tidak heran jika
rumusan aspirasi minoritas di Asia Tenggara hampir tidak dipisahkan dengan
ikatan etnitas, kultural dan Agama.
E.
Pro-kontra gerakan Islam di Indonesia
Dalam
skala politik internasional terorisme menjadi bomerang bagi umat Islam, karena
ketidak adilan Amerika yang menjustifikasi bahwa Islam lekat dengan terorisme,
pada hal sudah menjadi pengetahuan kita bersama bahwa, Islam mengecam keras
tindakan kekerasan, karena Islam adalah agama yang cinta perdamaian. Ironisnya, isu terorisme ini
juga dibenturkan dengan eksistensi pesantren yang sudah lama diakui oleh
masyarakat mempunyai peran penting dalam pengembangan dan terus menfasilitasi
aktivitas sosial keagamaan masyarakat. Ini merupakan satu kekuatan kultural yang mampu dijadikan sebagai
instrumen dalam menghadapi percaturan global. Seperti isu terorisme yang
dibenturkan dengan eksistensi pesantren di seluruh Indonesia hanyalah strategi
Barat untuk menguasai dunia Islam khususnya di negara-negara dunia ketiga, oleh
karena itu kita harus melakukan munter hegemonic dengan strategi
kebudayaan yang kita miliki.
Disisi lain,
pluralitas masyarakat Islam di Indonesia juga mengalami perkembangan yang
sangat pesat, yang tercermin pada banyaknya “sekte-sekte” yang terus
bemunculan, seperti, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), Hizbuttahrir Indonesia
(HTI), Front Pembebas Islam (FPI), Laskar Jihad, Lembaga Dakwah Islam Indonesia
LDII, Kelompok Salafi, Islam Jama’ah, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI)
Jaringan Islam Liberal (JIL), Jaringan IntelektuaI Muda Muhammadiyah (IMM) dan
lain sebagainya. Beberapa
aUran tersebut ada yang menganut paham modern dan ada pula yang menganut paham
Islam fundamentalis. Selain itu, di Indonesia juga terdapat aliran keagamaan
yang dinilai meresahkan masyarakat yaitu, kelompok Ahmadiyah dan kelompok Eden.
Dua aliran inti telah menimbulkan konflik sampai mengarah pada kebiasan
masyarakat akar rumput.[24]
Jika ditelah secara mendalam,
politik terorisme internasional akan merenggangkan kerekatan kultural antara
pesantren dan masyarakat yang sudah lama dibangun. Dan tentunya akan mengarah
pada disintegrasi umat Islam, sehingga integritas umat Islam sebagai kekuatan
sosial akan terfragmentasi oleh konflik internal, akibat isu yang tidak jelas
tetsebut, dan ini membuat seluruh kaum muslimin “tegang”.
Ini merupakan suatu belenggu atas kebebasan pesantren. ini akan memetakan Islam dan pesantren dalam perspektif politik internasional yang berusaha untuk mengungkap kebohongan Barat atas isu terorisme yang sekarang sedang santer dan tentunya mampu memberikan dinamika perubahan tersendiri dalam dunia pendidikan Islam, khususnya pesantren.
Ini merupakan suatu belenggu atas kebebasan pesantren. ini akan memetakan Islam dan pesantren dalam perspektif politik internasional yang berusaha untuk mengungkap kebohongan Barat atas isu terorisme yang sekarang sedang santer dan tentunya mampu memberikan dinamika perubahan tersendiri dalam dunia pendidikan Islam, khususnya pesantren.
Sedikitnya terdapat tiga
pesantren-pesantren al Mukmin Ngruki di Surakarta, Pesantren Al Zaitun di
Indramayu, dan pesantren Al Islam di Tenggulung Solokuno Lamongan yang
disebut-sebut dalam diskursus Islam radikal di Indonesia versi Amitika. Ketiga
pesantren tersebut diduga menjadi sumber gagasan-gagasan untuk mendirikan
Negara Islam, menerapkan syari’at Iskm dan juga mengkampanyekan anti-Amerika,
sehingga memunculkan gerakan-gerakan terorisme. Namun tak bisa dipungkiti,
bahwa pengklaiman ini tentu menimbulkan ekses negatif bagi perkembangan
pesantren pada skala global. Dalam ranah pengembangan pesantren, secara garis
besar terdapat dua hal yang harus diperhatikan yaitu faktor internal dan faktor
eksternal. Faktor internal mehputi sistem kepemimpinan kyai, sikap dan
pandangan kyai, ustadz, santri, dan kondisi organisasi pesantren, sedangkan
faktor eksternal terdiri dari, masyarakat sekitar pesantren, pemerintah, serta
institusi-institusi modern lainnya. Adapun yang seringkali luput dari
pengamatan kita adalah eksistensi kekuatan globalisasi.
Banyak orang yang mengakui,
bahwa eksistensi pesantren yang merupakan agen perubahan (agent of change)
bagi masyarakat dalam diskursus global diharapkan mampu menjadi struktur
mediasi (mediating structurf) yang mampu memahami persoalan-persoalan
yang muncul dalam masyarakat dan dapat menjembatani pemberdayaan masyarakat
untuk mewujudkan cita-cita bersama membentuk civil society. Karena
lembaga pendidikan inilah yang “ramah” dengan masyarakat, pada ranah
sosial-budaya, ekonomi, lembaga ini juga mampu berperan sebagai lokomotif dan
dinamisator dalam mengawal perubahan. Banyak pesantren di Indonesia yang sudah
berperan seperti yang disebutkan di atas.[25]
F.
Dampak ISLAM Terhadap Peristiwa BOM BALI
Dalam penulisan ini penulis mengambil contoh
negara Indonesia sebagai negara multikultural dengan kasus pengeboman Bali.
Resminya memang tidak ada yang tidak ada yang mengaitkan peristiwa Bom Bali 12
oktober 2002 dengan komunitas Agama tertentu. Baik aparat keamanan maupun elit
pemerintahan sama-sama menyatakan bahwa tragedi tersebut dilakukan oleh
kelompok teroris yang melibatkan Amrozi, Imam Samudera beserta kawan-kawan
mereka. Ada bebrapa persoalan yang melatar belakangi hal ini. Pertama,
peristiwa Bom Bali tidak terjadi dalam suasana Vakum. Dunia Internasional
melihat Bom Bali sebagai bagian yang tak terpisahkan dari peristiwa yang
mengerikan yang terjadi pada World Trade Center di New York pada setahun
sebelumnya, 11 september 2001. Serangan mengerikan dengan menabrakkan dua
pesawat komersial ke dunia menara kembar di pusat ekonomi dunia di brough
manhattan itu, yang mengakibatkan hilangnya 3000-an nyawa manusia, dilakukan
oleh anggota-anggota Al-Qaeda pimpinan Osama Bin Laden. Dalam hal ini,
pemerintahan Amerika tidak mengaitkan peristia tersebut dengan kalangan Agama
tertentu. Akan tetapi, di lapangan orang Islam yang harus menanggung akibat
dari peristiwa yang terjadi atas World
Trade Center. Di Amerika Utara dan sejumlah negara di Eropa Barat, mereka
mengalami religious harassment yang sedemikian rupa baik yang bersifat fisik
maupun psikis.[26]
Di dunia
“akademik”, sejumlah buku-seperti The Two Faces of Islam: The House of Sa’ud
From Tradition to Terror atau Hatred’s Kingdom: How Saudi Arabia Supports the
New Global Terrorism- di terbitkan hanya untuk mengatakan bahwa wahabiisme
berkaitan erat dengan terrorisme. Beberapa pimpinan agama tertentu-
sebagai dikutip dalam Why Do People Hate Amerika?- berujar bahwa Islam
Agama kebencian dan kekerasan. Dengan situasi di lapangan seperti itu,
kendatipun mungkin bukan sesuatu yang bersifat permanen, jelas Islam sedang
berada pada posisi tersebut. Upaya sebagian umat Islam untuk melakuakn wacana
tandingan (Caunter Discourse), bahwa Islam itu Agama damai dan anti
kekerasan belum mampu mengimbangi pandangan umum yang tengah berkembang.
Bahkan” Islam Kebanyakan” (mainstream Islam) untuk alasan yang bisa
dimengerti, seringkali di dalam memberi respon atas tindakan-tindakan yang
langsung atau membawa nama Islam.[27]
Kedua,
sebagian pelaku pengeboman di Bali mempunyai kaitan dengan lembaga pendidikan
Islam pesantren di masa lampau. Mereka adalah orang-orang yang pernah mengecap
pendidikan pesantren dimasa mudanya. Dari sini berkembang anggapan bahwa mereka
telah menyerap ajaran-ajaran Islam, dari pandangan tertentu, yang mendakwahkan
radikalisme.[28]
Ketiga,
adanya terminologi Agama yang mereka pakai untuk membenarkan kegiatan mereka
yang bersifat melawan hukum dan harkat kemanusian. Dalam hal ini, istilah jihad
yang sering mereka teriakkan, membuat banyak orang bersedia untuk membuka ruang
bagi adanya elemen keagamaan di dalam tindakan yang melawan hukum tersebut.
Sejalan dengan anggapan internasional tentang keterkaitan antara peristiwa yang
menimpa World Trade Center denagn sebagian aktivitas atau pemikir Islam,
berharap agar peristiwa pengeboman di Bali tidak di kaitkan dengan Islam juga
bukan sesuatu yang dengan segera dapat diwujudkan. Peristiwa pengeboman di Bali
tetap mendatangkan sebab-akibat bagi sebagian kalangan Islam. Setelah peristia
pengeboman di Bali “aktivisme” Islam tanpak menurun. Seperti diberitakan di
media Massa peristiwa tersebut mendatangkan “gesekan” antara Wakil Presiden
Hamzah Haz dengan Menko Polkam Susilo Bambang Yudhoyono. Yang terakhir ini
meminta agar tidak ada lagi pernyataan dari dalam pemerintahan bahwa tidak ada
teror di Indonesia sesuatu yang pernah dikemukakan oleh yang pertama kali di
berbagai kesempatan, termasuk di pesantren Ngruki yang dipimpin oleh Ustadz Abu Bakar Ba’asir.[29]
Akan tetapi yang
paling langsung ikut menuai akibat Bom Bali adalah kalangan pesantren.
Tiba-tiba saja pndidikan Islam tersebut muncul dalam lime light sejarah
yang sampai tingkat tertentu mendatangkan cibiran dan tuduhan mengenai pembelajaran
di pesantren apakah mengenai kekerasan. Semua itu tentu menorehkan kegetiran
dalam dunia pesantren. Pada hal meski tidak selalu diakui, pesantren selama ini
ikut memainkan peran penting di dalam membentuk keislaman dan keIndonesiaan.
Pada masa kolonial misalnya, selain menjadi benteng untuk mempertahankan dan
mengembangkan ajaran Islam, pesantren juga dikenal sebagai institusi yang
paling gigih melawan kolonialisme Belanda.[30]
G.
Penutup
Islam adalah suatu nama bagi
agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Allah kepada
manusia melalui seorang Rasul. Ajaran-ajaran yang dibawa oleh Islam merupakan
ajaran manusia mengenai berbagai segi dari kehidupan manusia. Islam merupakan
ajaran yang lengkap, menyeluruh dan sempurna yang mengatur tata cara kehidupan
seorang muslim baik ketika beribadah maupun ketika berinteraksi dengan
lingkungannya. Sedangkan Multikulturalisme adalah konsep yang mampu menjawab
tantangan perubahan zaman dengan alasan multikulturalisme merupakan sebuah
idiologi yang mengagungkan perbedaaan budaya, atau sebuah keyakinan yang
mengakui dan mendorong terwujudnya pluralisme budaya sebagai corak kehidupan
masyarakat.
Menjadikan
Islam multikultural sebagai topik atau wacana masih menarik dan perlu
disebar-luaskan. Hal ini setidaknya karena tiga alasan. Pertama, situasi dan
kondisi konflik. Kedua, realitas yang bhinneka. Kebhinnekaan agama, etnis,
suku, dan bahasa menjadi keharusan untuk disikapi oleh semua pihak, terutama
umat Islam di Indonesia. Ketiga, norma agama. Sebagai sebuah ajaran luhur tentu agama menjadi dasar
yang kuat bagi kaum agamawan pada umumnya untuk membuat kondisi agar tidak
carut-marut. Perkembangan masyarakat muslim di berbagai penjuru dunia ada beberapa
pendapat, pendapat pertama secara perspektif
Internal kaum muslimin sendiri, Sedangkan pendapat kedua dalam konteks
eksternal, kaum Muslimin yang bermukim dan hidup di dunia Barat, mengembangkan
sikap multikultural dalam hubungan dengan masyarakat diluar mereka.
Eksistensi
pesantren yang merupakan agen perubahan (agent of change) bagi
masyarakat dalam diskursus global diharapkan mampu menjadi struktur mediasi (mediating
structurf) yang mampu memahami persoalan-persoalan yang muncul dalam
masyarakat dan dapat menjembatani pemberdayaan masyarakat untuk mewujudkan
cita-cita bersama membentuk civil society. Kini telah menjadi harapan yang sia-sia.karena
Peristiwa pengebonan di Bali dan Word Trade Center di New York telah
memberikan pandangan yang negatif terhadap masyarakat luas. Gerakan yang
mengatas namakan Islam memberikan wacana bahwa Islam tidak bisa menghargai
multikultural yang ada di negara.
DAFTAR PUSTAKA
Abau Al
Fadl, Khaled. 2006. “ Islamic Law and Muslim Minorities: The Juristic
Discourse On Muslim Minorities from 8 th to 17 th Century CE/ 2 th to 11 th
Century Hijrah, “ Singapore, MUIS Occational Papers Series
Abdurrahman wahid, syafi’I ma’arif dan mustofa bisri. 2009. Ilusi
Negara Islam: ekspansi gerakan islam transnasional di
Indonesia. The wahid institute dan maarif institute, Jakarta: Penerbit
Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam
Ainul Yaqin,
2005. Pendidikan Multikultural: Cross-Cultural Understanding
untuk Demokrasi dan Keadilan, Yogyakarta: Pilar Media
Alqadrie, Syarif
Ibrahim. 2005. Sosialisasi Pluralisme dan Multikulturalisme Melalui
Pendidikan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Asfar, Muhammad Islam Lunak dan Islam
Radikal (Pesantren, Terorisme dan Bom Bali), Surabaya: HAM PuSDeHAM JP Press
Chinyong
Liow, Joseph, 2006. “Muslim
Resistance in Southern Thailand and Southern Philippines: Religion, Ideology
and Politics,” Policy Study 24
Choirul, Mahfud.
2009. Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
H.A.R. Tilaar,
2004. Multikulturalisme, Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam
Transformasi Pendidikan Nasional. Jakarta: Grasindo
Lee
Hock Guan, 2004. “ Intoduction: Civil Society in Southeast Asia, “ dalam Guan
Hock Lee, ed. Civil Coiety in Southeast Asia, Singapura: ISEAS
Lewis, Bernard, 2004. The Crisis Of Islam (Islam
Dalam Krisis: Antara Perang Suci dan Teror Kotor), Surabaya: Jawa Pos Press
M. Imam Zamroni. 2005.Islam, Pesantren Dan Terorisme. Jurnal
Pendidikan Agama Islam Vo1. ll. No. 2.
Mundzier Suparta, 2008. Islamic
Multicultural Education: Sebuah Reflaksi atas Pendidikan Agama Islam di
Indonesia, cet. Ke-1, Jakarta: Al-Ghazali Center
Mundzier Suparta, 2008. Islamic Multicultural
Education: Sebuah Reflaksi atas Pendidikan Agama Islam di Indonesia, cet. Ke-1. Jakarta: Al-Ghazali Center
Nasib Mustafa, Jurnal
Multikulturalisme dalam Persepektif Islam. Bogor: yayasan Fastabiqul
Khairat.
Nata,Abudin. 2001. Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
Sa’ad
S. Khan, “The Organization of The Islamic Conference (OIC) an Muslim Minority,”
Journal Of Muslim Minority Affairs 22, no. 2, 2002
Suaedy,
Ahmad, 2012. Dinamika Minoritas Muslim Mencari Jalan Damai, Jakarta: Puslitbang
Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI dan
CISEAS-The Wahid Institute
Syafiq Hsyim,dll, 2008. Islam dan Multikulturalisme, Jakarta: ICIP
Syed Z. Abidin, The Study of Muslim Minority Problems:
A Conceptual Approach,” dalam salem Azzam et. al., Muslim Communities in
Non-Muslim States
Yaqin, Ainul,
2005. Pendidikan Multikultural: Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi
dan Keadilan, Yogyakarta:Pilar Media
Zakiyuddin
Baidhawy, 2005. Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural. Jakarta:
Erlangga
Irawan, Islam dan Multikulturalisme, (http://aqidahfilsafatuinsuka.blogspot.co.id/2011/02/islam-dan-multikulturalisme.html) diakses pada hari selasa, tanggal 22 september 2015 jm.10.00
H. Non DAFTYA
[2] Ibid., vii
[3] Choirul, Mahfud. Pendidikan
Multikultural. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009),. xi
[4] Bernard Lewis, The Crisis Of Islam (Islam Dalam
Krisis: Antara Perang Suci dan Teror Kotor), (Surabaya: Jawa Pos Press,
2004),. 18
[5] Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural: Cross-Cultural
Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan, (Yogyakarta:Pilar Media,2005),
cet. 1. 4
[6] Nasib Mustafa, Jurnal Multikulturalisme dalam
Persepektif Islam. Bogor: yayasan Fastabiqul Khairat. 28
[7]Abudin Nata, Peta
Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2001. 172-173
[9] Mundzier Suparta, Islamic Multicultural Education:
Sebuah Reflaksi atas Pendidikan Agama Islam di Indonesia, cet. Ke-1. Jakarta: Al-Ghazali Center, 2008. 5
[10] Alqadrie, Syarif Ibrahim. Sosialisasi
Pluralisme dan Multikulturalisme Melalui Pendidikan. Yogyakarta, 2005. 315
[11] H.A.R. Tilaar, Multikulturalisme,
Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional,Jakarta,
Grasindo, 2004. 137
[12] Ibid., 138
[13] Irawan, Islam dan Multikulturalisme, (http://aqidahfilsafatuinsuka.blogspot.co.id/2011/02/islam-dan-multikulturalisme.html) diakses pada hari selasa,
tanggal 22 september 2015 jm.10.00
[14] Irawan, Islam dan Multikulturalisme, (http://aqidahfilsafatuinsuka.blogspot.co.id/2011/02/islam-dan-multikulturalisme.html) diakses pada hari selasa,
tanggal 22 september 2015 jm.10.00
[15] Syafiq Hsyim,dll., op.cit., 255
[16] Syafiq Hsyim,dll., op.cit., 256
[17] Khaled Abau Al Fadl, “ Islamic Law and Muslim
Minorities: The Juristic Discourse On Muslim Minorities from 8 th to 17 th
Century CE/ 2 th to 11 th Century Hijrah, “ Singapore, MUIS Occational Papers
Series 2006.
[18] Sa’ad S. Khan, “The Organization of The Islamic
Conference (OIC) an Muslim Minority,” Journal Of Muslim Minority Affairs
22, no. 2, 2002
[19] Syed Z. Abidin, The Study of Muslim Minority Problems:
A Conceptual Approach,” dalam salem Azzam et. al., Muslim Communities in
Non-Muslim States, 17-30
[20] Ahmad Suaedy, Dinamika Minoritas Muslim Mencari Jalan
Damai, Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan
Diklat Kementrian Agama RI dan CISEAS-The Wahid Institute, 2012. 37
[22][22] Joseph Chinyong Liow, “Muslim Resistance in Southern
Thailand and Southern Philippines: Religion, Ideology and Politics,” Policy
Study 24, 2006. 45-52
[23] Lee Hock Guan, “ Intoduction: Civil Society in Southeast
Asia, “ dalam Guan Hock Lee, ed. Civil Coiety in Southeast Asia, Singapura:
ISEAS, 2004, 1-25
[24]Abdurrahman wahid, syafi’I ma’arif dan mustofa
bisri.. Ilusi Negara Islam: ekspansi
gerakan islam transnasional di Indonesia. The wahid institute dan maarif
institute, Jakarta: Penerbit
Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2009. 9
[25] M. Imam Zamroni. 2005.Islam, Pesantren
Dan Terorisme. Jurnal Pendidikan Agama Islam Vo1. ll. No. 2.
[26]Muhammad Asfar, Islam Lunak dan Islam Radikal
(Pesantren, Terorisme dan Bom Bali), Surabaya: HAM PuSDeHAM
JP Press , xvi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar