Kamis, 07 April 2016

ISLAM DAN MULTIKULTURALISME: ISLAM SEBAGAI KOMUNITAS WACANA DAN SISTEM DUNIA



ISLAM DAN MULTIKULTURALISME: ISLAM SEBAGAI KOMUNITAS WACANA DAN SISTEM DUNIA
                     Oleh:
                   Umiati
               (15770034)

A.    Pendahuluan
Gambaran dunia saat ini terasa sangat sempit. Futurolongn John Naisbit dan Alvin Tofler menggambarkan keadaan seperti itu. Dunia merupakan suatu kampung besar (global village) sebagimana yang dikemukakan oleh ahli komunikasi Kanada, Mc Luhan. Di era globalisasi ini kita tidak dapat melepaskan diri dari kehidupan global. Multikulturalisme berangkat dari kepercayaan bahwa keberagamaan dan perbedaan adalah keniscayaan. Keberagamaan tersebut dari mulai keberagamaan identitas, suku,budaya, gender tidaklah bersifat hirarkis. Tidak ada sebuah identitas atau etnis yang lebih tinggi dari identitas yang lain. Peristiwa-peristiwa yang karena penonjolan identitas dan penafian atas identitas yang lain, dipenuhi oleh tindak kekerasan dan anarkisme seperti tergambar dalam pembersihan etnis (ethnic cleansing), intimidasi dan pengusiran terhadap umat yang berbeda keyakinan, terhadap umat yang berbeda pemahaman keagamaan dan juga terhadap perempuan.[1]
Islam sendiri adalah agama yang mengajarkan umatnya untuk menghargai keberagaman dan perbedaan. Dalam Al-Qur’an dan hadis banyak kita temukan contoh-contoh konkrit bagaimana Islam seharusnya bersikap dan menyikapi perbedaan itu. Sejumlah ayat-ayat Al-Qur’an menegaskan tentang etika sosial ini, pentingnya umat Islam menyakini kebenaran agamanya, tapi pada saat yang sama ia mengingatkan perlunya menjaga keseimbangan didalam berinterakasi dengan komunitas lain, siapapun itu. Sebagai sebuah gagasan, multikulturalisme bukan hanya toleransi moral ataupun kebersamaan yang pasif semata, melainkan sebuah kesediaan untuk melindungi dan mengakui kesetaraan dan rasa persaudaraan diantara sesame manusia, terlepas dari adanya perbedaan asal usul etnis, keyakinan, kepercayaan dan agama yang dianut.[2]
Pertentangan etnis yang terjadi dalam ataupun luar  negeri ini beberapa tahun terakhir ini mengajarkan betapa pentingnya pendidikan multikultural bagi masyarakat, meskipun bangsa secara formal mengakui keragaman, namun dalam kenyataannya tidak. Sudah sejak lama sistem pendidikan kita terpenjara dalam pemenuhan target sebagai akibat dari kapitalisme yang telah menguasai negeri, sehingga memunculkan apa yang disebut dengan konsep link and match. Dengan demikian pendidikan tidak lebih dari pabrik raksasa yang menghasilkan tenaga kerja terampil, namun dengan bayaran murah.[3]
Di dunia Islam terbentang luas dari Maroko sampai Indonesia dari kazakhtan samapi sinegal. Masa sebelumnya lebih dari 14 abad, sampai datngnya dakwah Muhammad di Arabia pada abad ke-7 M dan kreasi masyarakat serta negara Islam berada dinegara kekuasaannya. Pada peiode yang para ahli yang sejarah Eropa lihat sebagai sebuah jeda kegelapan antara kemunduran peraban kuno-Yunani dan Roma dan munculnya peradaban Modern-Eropa, Islam merupakan budaya yang mashur di dunia, dikatakan demikian karena kerajaan-kerajaan Islam yang besar dan kuat, kekayaan, industri dan perdagangannya beraneka ragam pengetahuan antara Timur kuno dan Barat modern yang mana Islam memberikan sumbangan penting. Tapi, selama 3 abad yang lalu, dunia Islam telah hilang dominasi dan kepemimpinannya dan telah jatuh berada di belakang Barat yang modern dan mengadakan modernisasi orentasi secara cepat.[4]
Negara Indonesia adalah salah satu negara multikultural terbesar di dunia, karena kondisi sosial-budaya maupun geografis yang begitu beragam dan luas[5] menyebabkan Indonesia menjadi negara yang multi etnis, multi ras, multi budaya, dan multi agama. Wilayahnya yang luas yang terdiri dari ribuan pulau, keragaman budaya, suku, ras dan agama adalah kekayaan yang dimiliki bangsa ini. Keragamaan kebudayaan oleh masyrakat lazim disebut multikultural. Kemajemukan ini menurut Azra sebagai blessing in disguise bagi bangsa Indonesia. Karena mengelola kemajemukan sesungguhnya merawat Indonesia. Dalam catatan suparlan terdapat kurang lebih 500 suku bangsa yang menghuni wilayah Indonesia dari propinsi Aceh sampai Papua. Keragaman ini meniscayakan lahirnya pluralitas budaya, karena memang suatu keniscayaan sejarah bagi bangsa Indonesia.  Adanya motto Bhineka Tunggal Ika sesungguhnya mereleksikan kemajemukan ini, dan sekaligus mengandung cita-cita memayungi kemajemukan sebagi kekayaan dan kekuatan.[6]
Dari pernyataan di atas maka penulis akan membahas berbagai pendapat tentang Pengerian Islam dan multikulturalisme, Multikultural Islam, Islam dan Dunia Multikultural, .

B.  Pengertian Islam dan Multikulturalisme
Islam secara terminologi adalah agama yang diturunkan oleh Allah kepada manusia melalui Rasul-Nya yang berisi hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan manusia  dan hubungan manusia dengan alam semesta. Islam adalah agama Allah yang di perintah untuk mengajarkan pokok-pokok dan peraturan-peraturannya kepada Nabi Muammad SAW dan menugaskan untuk menyampaikan agama itu kepada seluruh manusia, lalu mengajak mereka untuk memeluknya.
Multikulturalisme berasal dari kata Multi yang berarti plural, cultural yang berarti kultur atau budaya dan isme yang berarti paham atau aliran.
Multikulturalisme adalah sebuah filosofi terkadang ditafsirkan sebagai ideology yang menghendaki adanya persatuan dari berbagai kelompok kebudayaan dengan hak dan status social politik yang sama dalam masyarakat modern.[7]
Multikulturalisme Menurut Al Qur’an. Kita perlu kembali merenungkan berbagai ajaran yang telah disampaikan Allah melalui para Rasul-Nya, yang terdapat dalam kitab Suci Al Qur’an. Kita hendaknya mampu mengoptimalkan peran agama sebagai faktor integrasi dan pemersatu. Al Qur’an, misalnya, memuat banyak sekali ayat yang bisa dijadikan asas untuk menghormati dan melakukan rekonsiliasi di antara sesama manusia. Dalam tulisan ini dapat dikemukkan contoh sebagai berikut;.
Pertama, Al Qur’an menyatakan bahwa; dulu manusia adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan) maka, Allah mengutus para Nabi, sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan. Dan Allah menurunkan bersama mereka kitab yang benar, untuk memberikan keputusan diantara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan.
tb%x. â¨$¨Z9$# Zp¨Bé& ZoyÏnºur y]yèt7sù ª!$# z`¿ÍhŠÎ;¨Y9$# šúï̍Ïe±u;ãB tûïÍÉYãBur tAtRr&ur ãNßgyètB |=»tGÅ3ø9$# Èd,ysø9$$Î/ zNä3ósuŠÏ9 tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# $yJŠÏù (#qàÿn=tF÷z$# ÏmŠÏù 4 $tBur y#n=tG÷z$# ÏmŠÏù žwÎ) tûïÏ%©!$# çnqè?ré& .`ÏB Ï÷èt/ $tB ÞOßgø?uä!%y` àM»oYÉit6ø9$# $JŠøót/ óOßgoY÷t/ ( yygsù ª!$# šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä $yJÏ9 (#qàÿn=tF÷z$# ÏmŠÏù z`ÏB Èd,ysø9$# ¾ÏmÏRøŒÎ*Î/ 3 ª!$#ur Ïôgtƒ `tB âä!$t±o 4n<Î) :ÞºuŽÅÀ ?LìÉ)tGó¡B ÇËÊÌÈ 
Artinya: Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan), Maka Allah mengutus Para Nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. tidaklah berselisih tentang kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, Yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkann itu dengan kehendak-Nya. dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus”. (QS Al Baqarah: 213)

Dengan ayat ini, Al-Qur’an menegaskan konsep kemanusiaaan universal Islam yang mengajarkan bahwa umat manusia pada mulamya adalah satu. Perselisihan terjadi disebabkan oleh timbulnya berbagai vested interest masing-masing kelompok manusia. Yang masing-masing mereka mengadakan penafsiran yang berbeda tentang suatu hakekat kebenaran menurut vested interest nya.
Kedua, meskipun asal mereka adalah satu, pola hidupnya menganut hukum tentang kemajemukan, antara lain karena Allah menetapkan jalan dan pedoman hidup yang berbeda-beda untuk berbagai golongan manusia. Perbedaan itu seharusnya tidak menjadi sebab perselisiahan dan permusuhan, melainkan pangkal tolak bagi perlombaan untuk melakukan berbagai kebaikan. Al Qur’an menyebutkan :“ Untuk tiap-tiap manusia diantara kamu, Kami berikan jalan dan pedoman hidup. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikannya satu umat saja. Tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebaikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semua, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.[8]
Sehingga dari kedua ayat diatas dapat saya tarik kesimpulan bahwa, betapapun perbuatan yang terjadi pada manusia di bumi ini, namun hakekat kemanusiaan akan tetap dan tidak akan berubah. Yaitu fitrahnya yang hanif, sebagai wujud perjanjian primordial (azali) antara Tuhan dan Manusia sendiri. Responsi atau timbal balik manusia kepada ajaran tentang kemanusiaan universal adalah kelanjutan dan eksisitensialisme dari perjanjian primordial itu dalam hidup di dunia ini.
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Islam adalah suatu nama bagi agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Allah kepada manusia melalui seorang Rasul. Ajaran-ajaran yang dibawa oleh Islam merupakan ajaran manusia mengenai berbagai segi dari kehidupan manusia. Islam merupakan ajaran yang lengkap, menyeluruh dan sempurna yang mengatur tata cara kehidupan seorang muslim baik ketika beribadah maupun ketika berinteraksi dengan lingkungannya. Sedangkan Multikulturalisme adalah sistem keyakinan dan perilaku yang mengakui dan menghormati kehadiran semua kelompok yang beragam dalam suatu organisasi atau masyarakat, mengakui sosial-budaya mereka yang berbeda, dan mendorong dan memungkinkan kontribusi melanjutkan mereka dalam konteks budaya inklusif yang memberdayakan semua dalam organisasi atau masyarakat.
Islam adalah agama universal yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, persamaan hak dan mengakui adanya keragaman latar belakang budaya dan kemajemukan. Multikultural menurut Islam adalah sebuah aturan Tuhan (sunnatullah) yang tidak akan berubah, dan tidak akan dilawan atau diingkari. Setiap orang akan menghadapi kemajemukan dimanapun dan dalam hal apapun.[9]
C.   Multikultural Islam
Multikulturalisme adalah kesediaan menerima kelompok lain secara sama sebagai kesatuan, tanpa mempedulikan perbedaan budaya, etnik, jender, bahasa, ataupun agama. Dalam konteks tersebut, memperbincangkan diskursus Islam multikultural di Indonesia menemukan momentumnya. Sebab, selama ini Islam secara realitas seringkali ditafsirkan tunggal bukan jamak atau multikultural. Padahal, di Nusantara realitas Islam multikultural sangat kental, baik secara sosio-historis maupun glokal (global-lokal). Secara lokal, misalnya, Islam di nusantara dibagi oleh Clifford Geertz dalam trikotomi: santri, abangan dan priyayi; atau dalam perspektif dikotomi Deliar Noer, yaitu Islam tradisional dan modern; dan masih banyak lagi pandangan lain seperti liberal, fundamental, moderat, radikal dan sebagainya. Secara sosio-historis, hadirnya Islam di Indonesia juga tidak bisa lepas dari konteks multikultural sebagaimana yang bisa dibaca dalam sejarah masuknya Islam ke Nusantara yang dibawa oleh Walisongo. [10]
Selanjutnya, menjadikan Islam multikultural sebagai topik atau wacana masih menarik dan perlu disebarluaskan. Hal ini setidaknya karena tiga alasan. Pertama, situasi dan kondisi konflik. Di tengah-tengah keadaan yang sering konflik, Islam multikultural menghendaki terwujudnya masyarakat Islam yang cinta damai, harmonis dan toleran. Karenanya, cita-cita untuk menciptakan dan mendorong terwujudnya situasi dan kondisi yang damai, tertib dan harmonis menjadi agenda penting bagi masyarakat dunia, termasuk Indonesia. Di tanah air, kasus konflik sosial di Poso, Ambon, Papua, Kasus Bom Bali dan daerah lain merupakan pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan bersama.
Kedua, realitas yang bhinneka. Kebhinnekaan agama, etnis, suku, dan bahasa menjadi keharusan untuk disikapi oleh semua pihak, terutama umat Islam di Indonesia. Sebab, tanggung jawab sosial bukan hanya ada pada pemerintah tapi juga umat beragama. Dengan lain kata, damai-konfliknya masyarakat juga bergantung pada kontribusi penciptaan suasana damai oleh umat beragama, termasuk kaum Muslimin di negeri ini.
Ketiga, norma agama. Sebagai sebuah ajaran luhur tentu agama menjadi dasar yang kuat bagi kaum agamawan pada umumnya untuk membuat kondisi agar tidak carut-marut. Dalam hal ini, tafsir agama diharapkan bukan semata-mata mendasarkan pada teks, tetapi juga konteks agar maksud teks bisa ditangkap sesuai makna zaman. Perdebatan antara aliran ta`aqqully yang mendasarkan pada kekuatan rasio/akal dan aliran ta`abbudy yang menyandarkan pada aspek teks telah diwakili oleh dua aliran besar, yaitu Mu`tazilah dan Asy`ariyah, bisa menjadi pelajaran masa lalu yang amat menarik.
Multikulturalisme sangat penting dan menarik untuk diulas lebih detail karena dilatar belakangi oleh pemikiran antara lain:
a)    Perlunya sosialisasi bahwa pada dasarnya semua agama datang untuk mengajarkan dan menyebarkan damai dan perdamaian dalam kehidupan ummat manusia.
b)    Wacana agama yang toleran dan inklusif merupakan bagian tak terpisahkan dari ajaran agama itu sendiri, sebab multi kultur, semangat toleransi dan inklusivisme adalah hukum Tuhan atau Sunnatullah yang tidak bisa diubah, dihalang-halangi dan ditutup-tutupi.
c)     Adanya kesenjangan yang jauh antara cita-cita ideal agama-agama dan realitas empirik kehidupan ummat beragama di tengah masyarakat.
d)    Semakin menguatnya kecenderungan eksklusivisme dan intoleransi di sebagian ummat beragama yang pada gilirannya memicu terjadinya konflik dan permusuhan yang berlabel agama.
e)    Perlu dicari upaya-upaya untuk mengatasi masalah-masalah yang berkaitan dengan kerukunan dan perdamaian antar ummat beragama.[11]
Multikulturalisme merupakan salah satu ajaran Tuhan yang sangat berguna dan bermanfaat bagi ummat manusia dalam rangka untuk mencapai kehidupan yang damai di muka bumi, hanya saja prinsip-prinsip multikulturalisme itu sering tercemari oleh perilaku-perilaku radikalisme, eksklusivisme, intoleransi dan bahkan “fundamentalisme”. Hal ini dapat diatasi apabila kita bisa menjadikan iman dan taqwa berfungsi dalam kehidupan yang nyata bagi bangsa dan negara.[12]
Bila iman dan taqwa itu telah berfungsi dalam kehidupan kita masing-masing dan agama telah berfungsi dalam kehidupan masyarakat , berbangsa dan bernegara, maka perilaku-perilaku radikalisme, ekseklusivisme, intoleransi dan “fundamentalisme” akan terhindar dari diri ummat beragama dan kita akan menjalani hidup yang demokratis yang penuh dengan kebersamaan dan persaudaraan. Dengan demikian akan tercipta keharmonisan hidup berbangsa dan bernegara dan terhindar dari konflik-konflik yang bernuansa agama.

1.    Keanekaragaman Dalam Islam
Dalam tulisannya yang berjudul Islam dan Multikulturalisme, Samsul Rizal Panggabean[13] memberikan gambaran mengenai pandangan Islam tentang Multikulturalisme. Multikulturalisme dalam dua arah pembicaraan, yaitu : multikulturalisme dari komunitas Muslim (Multikulturalisme Internal) dan komunitas agama-agama lain (Multikulturalisme Eksternal).
a.  Multikulturalisme Internal Multikulturalisme Internal merupakan keanekaragaman internal dikalangan umat Islam, menunjukkan bahwa kebudayaan Islam itu majemuk secara internal. Dalam hal ini, kebudayaan Islam serupa dengan kebudayaan lainnya kecuali kebudayaan yang paling primitif. Kemajemukan internal ini mencakup antara lain :Bidang pengelompokan sosial, Bidang fiqh, Bidang teologi, Bidang tasawuf dan dimasa modern seperti politik kepartaian.

b.     Multikulturalisme Eksternal Multikultural eksternal ditandai dengan pluralitas komunal-keagamaan, merupakan fakta yang tidak dapat dihindari dalam kehidupan masyarakat Muslim. Lebih dari itu, multikulturalisme juga menjadi semangat, sikap, dan pendekatan terhadap keanekaragaman budaya dan agama. Sebagai bagian dari kondisi yang majemuk, umat Islam terus berinteraksi dengan umat dari agama-agama lain. Melalui proses interaksi, umat Islam diperkaya tradisi keagamaan lain, dan umat agama lain memperkaya dan diperkaya tradisi keagamaan Islam.[14]

D. Islam dan Dunia Multikultural
Dalam sejarah belum pernah di sebutkan bahwa Islam dan kaum Muslimin menyebar diberbagai penjuru dunia. Kekuasaan politik kaum muslimin pada abad pertengahan dan pramodern memang pernah menjangkau Eropa Barat, seperti Spanyol dan Eropa Timur, tetapi di abad globalisasi ini. Islam dan kaum muslimin hadir secara signifikan meski tanpa kekuasaan politik hampir diseluruh penjuru manca Negara, khususnya di Eropa, Amerika Utara dan Australia.
Penulisan makalah ini mengambil contoh dari Uni Eropa, Islam dan kaum muslimin hadir kian nyata. Kini populasi kaum muslimin sekitar 3 persen dari total penduduk Uni Eropa, dan persentase ini akan mencapai sekitar kurang dari 10 persen menjelang 2025. Memang, pertumbuhan jumlah  kaum muslimin Uni Eropa sangat cepat berkat imigrasi, perkawinan campuran, dan angka kelahiran yang tinggi, tetapi tetap saja sulit membayangkan, kaum muslimin kelak menjadi mayoritas penduduk Uni Eropa menjelang akhir abad ke-21, seperti pernah diklaim sarjana Yahudi, Bernard Lewis.
Bagi mereka yang tidak selalu bersahabat dengan Islam, pertumbuhan kaum muslimin diberbagai penjuru dunia sering dikomentari dengan pernyataan yang mendorong penguatan ‘Islamo Phobia’. Ada yang menyatakan, Islam dan kaum muslimin sedang dalam long march untuk mengklonisasi dan menaklukan Eropa. Lebih jauh, sikap ‘Islamo-phobia’ ini terlihat juga dalam ungkapan yang kian popular pada sejumlah kalangan masyarakat Eropa  non-Muslim, bahwa Uni Eropa tengah berubah menjadi ‘Eurabia’ dengan ibu kota ‘Londonistan’. Hal-hal seperti ini, tak bisa lain menambah kekhawatiran, ketakutan, dan sikap bermusuhan dari sebagian masyarakat local terhadap Islam dan kaum Muslimin yang hidup diwilayah mereka.
Dari perspektif Internal kaum muslimin sendiri, kehadiran mereka yang kian banyak di wilayah belahan Dunia Barat, semestinya membuat mereka harus lebih mengembangkan toleransi diantara kaum muslimin yang datang dari berbagai tradisi keislaman, etnisitas dan sosio-kultural. Kaum muslimin sebaiknya lebih mengembangkan sikap tasamuh diantara mereka, bukan sampai yang terjadi sampai saat ini, yakni terus berlangsungnya pertengkaran konsistensi pengaruh dan kekuasaan, serta konflik sectarian. Semua ini jelas bukan contoh yang baik bagi masyarakat non-muslim tempat mereka mencari nafkah dan kehidupan.
Dalam konteks eksternal, kaum Muslimin yang bermukim dan hidup di Dunia Barat, sebaiknya juga mengembangkan sikap multikultural dalam hubungan dengan masyarakat diluar mereka. Mereka sebaiknya menahan diri untuk tidak memperlakukan Negara dan masyarakat yang merupakan tempat kehidupan baru mereka seperti tanah air asli mereka. Bagaimanapun, kaum muslimin harus mengembangkan sikap multikultural, menghormati dan menoleransi tradisi politik, sosial-budaya masyarakat setempat, tidak memaksakan keinginan mereka sendiri, yang bahkan dinegara asal mereka sendiri tidak bisa mereka lakukan.[15]
Sensitivitas multikultural seperti itu penting dikembangkan kaum muslimin, jika Islam dan mereka sendiri ingin tidak disalah pahami dan bahkan dimusuhi masyarakat setempat. Gejala sikap bermusuhan itu dan ‘Islamo-Phobia’ dengan munculnya kelompok rasis kulit putih yang anti para imigran, khususnya kaum muslimin. Pada saat yang sama, pemerintah dan masyrakat Barat semestinya mengembangkan kebijakan multikultural yang lebih konsisten dan kondusif bagi kehidupan multikultural lebih baik lagi. Dikalangan masyarakat Barat sendiri pasca peristiwa 11 september di AS, bom Madrid 12 maret 2004, bom London 7 Juli 2005 mulai muncul pertanyaan tentang manfaat kebijakan multikultural yang selama ini meraka kembangkan bagi Negara-bangsa mereka.
Alasannya, masyarakat minoritas seperti kaum muslimin. Menurut mereka, ternyata menggunakan kebijakan multikultural untuk membangun Isolasionalisme dan cultural enclave  yang terpisah dengan masyarakat lainnya. Di Inggris misalnya, kian nyaring suara-suara yang menuntut penghapusan kebijakan multikultural, dan sebaliknya mengadopsi kebijakan monokultural, yang pada intinya menekankan integrasi kelompok-kelompok minoritas kedalam budaya local atau nasional dominan.
Dengan kebijakan multikultural, sepatutnya juga Negara-negara Barat mengadopsi Islam dan budaya Muslim sebagai bagian integral dari identitas mereka. Karena itu, undang-undang dan peraturan perundangan, misalnya tentang penodaan agama yang sampai saat ini hanya berlaku untuk agama Kristen dan Yahudi, sudah sepatutnya juga mencakup Islam. Dengan begitu, kaum Muslimin yang sudah beberapa generasi hidup di Barat, tidak terus mengalami berbagai bentuk deskriminasi baik terhadap Islam maupun mereka sendiri dalam kehidupan sehari-hari. Azyumardi Azra menyatakan bahwa hanya dengan sensitivitas timbal balik dan sikap multikultural yang proporsional diantara kedua belah pihak masyarakat ini, Islam dan kaum Muslimin dapat menghilangkan perasaan terasing dan terdiskriminasi hidup di Barat. [16]
Dari penulisan artikel tersebut dapat penulis simpulkan bahwa dalam sejarah Islam menyebar di berbagai penjuru dunia seperti Eropa Barat, Spanyol dan Eropa Timur, tetapi di abad globalisasi ini. Islam dan kaum muslimin hadir secara signifikan meski tanpa kekuasaan politik hampir diseluruh penjuru manca Negara, khususnya di Eropa, Amerika Utara dan Australia. Perkembangan masyarakat muslim di berbagai penjuru dunia ada beberapa pendapat, pendapat pertama secara perspektif Internal kaum muslimin sendiri, kehadiran mereka yang kian banyak di wilayah belahan Dunia Barat, lebih mengembangkan toleransi diantara kum muslimin yang datang dari berbagai tradisi keislaman, etnisitas dan sosio-kultural. Sedangkan pendapat kedua Dalam konteks eksternal, kaum Muslimin yang bermukim dan hidup di dunia Barat, mengembangkan sikap multikultural dalam hubungan dengan masyarakat diluar mereka.

D.    Islam Multikulturalisme Sebagai Wacana dan Gerakan
      Dalam diskursus intelektual Islam sendiri isu tentang minoritas Muslim di dalam mayoritas non-Muslim ataupun negara sekuler tampak belum digali secara memadai. Menerut Khaled Abou Al Fadl,[17] hingga kira-kira berakhirnya Imperium Turki Utsmani, diskursus minoritas didalam fikih hanya terbatas sebagai wacana boleh atau tidak boleh seorang Muslim hidup ditengah mayoritas non- Muslim karena di duga mereka akan mengalami kesulitan dalam menjalankan agamanya dan mungkin mengalami diskriminasi. Bahkan, Abou al Fadl, Imam Hanafi tercatat mengharamkan seorang Muslim tinggal di negara atau komunitas mayoritas non-Muslim. Di masa modern, organisasi konferensi Islam (OKI) yang merupakan salah satu representasi masyarakat dan negara Islam di dunia tidak memasukkan mandat dalam pendiriannya tentang minoritas Muslim. Baru tahun 1970-an OKI memberikan perhatian terhadap minoritas Muslim namun masih sangat terbatas dalam kasus-kasus yang dianggap krusial dan terjangkau.[18]
                Menurut Syed Z. Abidin,[19] ada dua cara melihat minoritas Muslim di negara mayoritas non-Muslim atau sekuler, yaitu aspek ekspresi kultural dan aspek keyakinan atau idea. Aspek kultural misalnya, berkaitan denga tradisi berpakaian, beribadah, bahasa khas yang dipakai dan lain sebagainya. Aspek keyakinan atau aspek idea yaitu tentang keyakinan akidah yang berbeda dengan mayoritas, dan juga nilai-nilai idea lainnya seperti kehidupan setelah mati dan cita-cita hidup. Namun dalam keduanya, menurut Abidin, perlu mendorong minoritas Muslim untuk memperkuat dan menunjukkan identitas dan kultural khas mereka ketika hidup di tengah mayoritas. Dengan demikian, minoritas Muslim juga perlu menyadari akan perbedaan dan saling menghargai diantara mereka. Sehingga ekspresi Kultural dan Idealitas atau identitas sebagai Muslim yang baik tidak tidak perlu dikontraskan dengan sistem komunitas atau negara di mana dia hidup. Menurut Abidin, menjadi wrga negara yang baik dalam suatu negara mayoritas non-Muslim atau sekuler dalam waktu yang sama dan tetap bisa menjadi Muslim yang baik.[20]
                Dalam perspektif multikultural, menurut Kymlicka misalnya, baik minoritas pribumi maupun imigran memiliki hak yang sama dengan mayoritas dalam kejederajatan sosial, ekonomi, politik serta kewarganegaraan tidak hanya dalam hal-hal yang bersifat ritual ekspresional melainkan juga hal politik dan pengelolaan atas tanah seperti self-government. Hanya saja menurut kymlicka, mereka dibedakan ketika menjadi imigran dan pribumi. Minoritas imigran umumnya tidak memiliki hak untuk pemerintahan sendiri apalagi merdeka mengingat para imigran pada umumnya bersifat sukarela atau voluntary. Sedangkan minoritas pribumi memungkinkan melakukan tuntutan tersebut, hanya saja tergantung pada proses politik dinegara masing-masing.[21]
                Gerakan-gerakan minoritas yang menuntut pemisahan diri atau otonomi, termasuk di Filipina selatan maupun Thailand Selatan. Hampir selalu dicari-cari kaitannya dengan gerakan terorisme internasional yang menggunakan Islam sebagai gerakan. Meskipun banyak laporan yang kemudian membuktikan bahwa gerakan-gerakan itu bersifat lokal dan tidak terkait langsung denagn terorisme internasional,[22] namun yang paling menonjol adalah ketika gerakan ini disamaratakan begitu saja dengan gejala fundamentalisme Islam atau gerakan Islamis dalam politik.
                Melekatnya identitas kultural dan agama hampir menjadi ciri khas dari masyarakat Asia Tenggara. Menurut Lee Hock Guan,[23] misalnya, tradisi Ikatan etnisitas dan komunalitas di Asia Tenggara jauh lebih kuat ketimbang di Eropa dan di Amerika Serikat. Di Amerika Serikat, menurut Guan civil society lebih terbangun berbasis pada kelas menengah seperti perdagangan, industriawan dan intelektual. Sementara di Asia Tenggara, lanjut Guan, civil society terbangun lebih berbasis pada ikatan etnisitas, agama dan kelompok-kelompok sosial kultural. Karena itu, tidak heran jika rumusan aspirasi minoritas di Asia Tenggara hampir tidak dipisahkan dengan ikatan etnitas, kultural dan Agama.



E.    Pro-kontra gerakan Islam di Indonesia

Dalam skala politik internasional terorisme menjadi bomerang bagi umat Islam, karena ketidak adilan Amerika yang menjustifikasi bahwa Islam lekat dengan terorisme, pada hal sudah menjadi pengetahuan kita bersama bahwa, Islam mengecam keras tindakan kekerasan, karena Islam adalah agama yang cinta perdamaian. Ironisnya, isu terorisme ini juga dibenturkan dengan eksistensi pesantren yang sudah lama diakui oleh masyarakat mempunyai peran penting dalam pengembangan dan terus menfasilitasi aktivitas sosial keagamaan masyarakat. Ini merupakan satu kekuatan kultural yang mampu dijadikan sebagai instrumen dalam menghadapi percaturan global. Seperti isu terorisme yang dibenturkan dengan eksistensi pesantren di seluruh Indonesia hanyalah strategi Barat untuk menguasai dunia Islam khususnya di negara-negara dunia ketiga, oleh karena itu kita harus melakukan munter hegemonic dengan strategi kebudayaan yang kita miliki.
Disisi lain, pluralitas masyarakat Islam di Indonesia juga mengalami perkembangan yang sangat pesat, yang tercermin pada banyaknya “sekte-sekte” yang terus bemunculan, seperti, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), Hizbuttahrir Indonesia (HTI), Front Pembebas Islam (FPI), Laskar Jihad, Lembaga Dakwah Islam Indonesia LDII, Kelompok Salafi, Islam Jama’ah, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) Jaringan Islam Liberal (JIL), Jaringan IntelektuaI Muda Muhammadiyah (IMM) dan lain sebagainya. Beberapa aUran tersebut ada yang menganut paham modern dan ada pula yang menganut paham Islam fundamentalis. Selain itu, di Indonesia juga terdapat aliran keagamaan yang dinilai meresahkan masyarakat yaitu, kelompok Ahmadiyah dan kelompok Eden. Dua aliran inti telah menimbulkan konflik sampai mengarah pada kebiasan masyarakat akar rumput.[24]
Jika ditelah secara mendalam, politik terorisme internasional akan merenggangkan kerekatan kultural antara pesantren dan masyarakat yang sudah lama dibangun. Dan tentunya akan mengarah pada disintegrasi umat Islam, sehingga integritas umat Islam sebagai kekuatan sosial akan terfragmentasi oleh konflik internal, akibat isu yang tidak jelas tetsebut, dan ini membuat seluruh kaum muslimin “tegang”.
Ini merupakan suatu belenggu atas kebebasan pesantren. ini akan memetakan Islam dan pesantren dalam perspektif politik internasional yang berusaha untuk mengungkap kebohongan Barat atas isu terorisme yang sekarang sedang santer dan tentunya mampu memberikan dinamika perubahan tersendiri dalam dunia pendidikan Islam, khususnya pesantren
.
Sedikitnya terdapat tiga pesantren-pesantren al Mukmin Ngruki di Surakarta, Pesantren Al Zaitun di Indramayu, dan pesantren Al Islam di Tenggulung Solokuno Lamongan yang disebut-sebut dalam diskursus Islam radikal di Indonesia versi Amitika. Ketiga pesantren tersebut diduga menjadi sumber gagasan-gagasan untuk mendirikan Negara Islam, menerapkan syari’at Iskm dan juga mengkampanyekan anti-Amerika, sehingga memunculkan gerakan-gerakan terorisme. Namun tak bisa dipungkiti, bahwa pengklaiman ini tentu menimbulkan ekses negatif bagi perkembangan pesantren pada skala global. Dalam ranah pengembangan pesantren, secara garis besar terdapat dua hal yang harus diperhatikan yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal mehputi sistem kepemimpinan kyai, sikap dan pandangan kyai, ustadz, santri, dan kondisi organisasi pesantren, sedangkan faktor eksternal terdiri dari, masyarakat sekitar pesantren, pemerintah, serta institusi-institusi modern lainnya. Adapun yang seringkali luput dari pengamatan kita adalah eksistensi kekuatan globalisasi.
Banyak orang yang mengakui, bahwa eksistensi pesantren yang merupakan agen perubahan (agent of change) bagi masyarakat dalam diskursus global diharapkan mampu menjadi struktur mediasi (mediating structurf) yang mampu memahami persoalan-persoalan yang muncul dalam masyarakat dan dapat menjembatani pemberdayaan masyarakat untuk mewujudkan cita-cita bersama membentuk civil society. Karena lembaga pendidikan inilah yang “ramah” dengan masyarakat, pada ranah sosial-budaya, ekonomi, lembaga ini juga mampu berperan sebagai lokomotif dan dinamisator dalam mengawal perubahan. Banyak pesantren di Indonesia yang sudah berperan seperti yang disebutkan di atas.[25]

F.    Dampak ISLAM Terhadap Peristiwa BOM BALI
            Dalam penulisan ini penulis mengambil contoh negara Indonesia sebagai negara multikultural dengan kasus pengeboman Bali. Resminya memang tidak ada yang tidak ada yang mengaitkan peristiwa Bom Bali 12 oktober 2002 dengan komunitas Agama tertentu. Baik aparat keamanan maupun elit pemerintahan sama-sama menyatakan bahwa tragedi tersebut dilakukan oleh kelompok teroris yang melibatkan Amrozi, Imam Samudera beserta kawan-kawan mereka. Ada bebrapa persoalan yang melatar belakangi hal ini. Pertama, peristiwa Bom Bali tidak terjadi dalam suasana Vakum. Dunia Internasional melihat Bom Bali sebagai bagian yang tak terpisahkan dari peristiwa yang mengerikan yang terjadi pada World Trade Center di New York pada setahun sebelumnya, 11 september 2001. Serangan mengerikan dengan menabrakkan dua pesawat komersial ke dunia menara kembar di pusat ekonomi dunia di brough manhattan itu, yang mengakibatkan hilangnya 3000-an nyawa manusia, dilakukan oleh anggota-anggota Al-Qaeda pimpinan Osama Bin Laden. Dalam hal ini, pemerintahan Amerika tidak mengaitkan peristia tersebut dengan kalangan Agama tertentu. Akan tetapi, di lapangan orang Islam yang harus menanggung akibat dari peristiwa yang terjadi  atas World Trade Center. Di Amerika Utara dan sejumlah negara di Eropa Barat, mereka mengalami religious harassment yang sedemikian rupa baik yang bersifat fisik maupun psikis.[26]
   Di dunia “akademik”, sejumlah buku-seperti The Two Faces of Islam: The House of Sa’ud From Tradition to Terror atau Hatred’s Kingdom: How Saudi Arabia Supports the New Global Terrorism- di terbitkan hanya untuk mengatakan bahwa wahabiisme berkaitan erat dengan terrorisme. Beberapa pimpinan agama tertentu- sebagai dikutip dalam Why Do People Hate Amerika?- berujar bahwa Islam Agama kebencian dan kekerasan. Dengan situasi di lapangan seperti itu, kendatipun mungkin bukan sesuatu yang bersifat permanen, jelas Islam sedang berada pada posisi tersebut. Upaya sebagian umat Islam untuk melakuakn wacana tandingan (Caunter Discourse), bahwa Islam itu Agama damai dan anti kekerasan belum mampu mengimbangi pandangan umum yang tengah berkembang. Bahkan” Islam Kebanyakan” (mainstream Islam) untuk alasan yang bisa dimengerti, seringkali di dalam memberi respon atas tindakan-tindakan yang langsung atau membawa nama Islam.[27]
                Kedua, sebagian pelaku pengeboman di Bali mempunyai kaitan dengan lembaga pendidikan Islam pesantren di masa lampau. Mereka adalah orang-orang yang pernah mengecap pendidikan pesantren dimasa mudanya. Dari sini berkembang anggapan bahwa mereka telah menyerap ajaran-ajaran Islam, dari pandangan tertentu, yang mendakwahkan radikalisme.[28]
Ketiga, adanya terminologi Agama yang mereka pakai untuk membenarkan kegiatan mereka yang bersifat melawan hukum dan harkat kemanusian. Dalam hal ini, istilah jihad yang sering mereka teriakkan, membuat banyak orang bersedia untuk membuka ruang bagi adanya elemen keagamaan di dalam tindakan yang melawan hukum tersebut. Sejalan dengan anggapan internasional tentang keterkaitan antara peristiwa yang menimpa World Trade Center denagn sebagian aktivitas atau pemikir Islam, berharap agar peristiwa pengeboman di Bali tidak di kaitkan dengan Islam juga bukan sesuatu yang dengan segera dapat diwujudkan. Peristiwa pengeboman di Bali tetap mendatangkan sebab-akibat bagi sebagian kalangan Islam. Setelah peristia pengeboman di Bali “aktivisme” Islam tanpak menurun. Seperti diberitakan di media Massa peristiwa tersebut mendatangkan “gesekan” antara Wakil Presiden Hamzah Haz dengan Menko Polkam Susilo Bambang Yudhoyono. Yang terakhir ini meminta agar tidak ada lagi pernyataan dari dalam pemerintahan bahwa tidak ada teror di Indonesia sesuatu yang pernah dikemukakan oleh yang pertama kali di berbagai kesempatan, termasuk di pesantren Ngruki yang dipimpin oleh Ustadz  Abu Bakar Ba’asir.[29]
                Akan tetapi yang paling langsung ikut menuai akibat Bom Bali adalah kalangan pesantren. Tiba-tiba saja pndidikan Islam tersebut muncul dalam lime light sejarah yang sampai tingkat tertentu mendatangkan cibiran dan tuduhan mengenai pembelajaran di pesantren apakah mengenai kekerasan. Semua itu tentu menorehkan kegetiran dalam dunia pesantren. Pada hal meski tidak selalu diakui, pesantren selama ini ikut memainkan peran penting di dalam membentuk keislaman dan keIndonesiaan. Pada masa kolonial misalnya, selain menjadi benteng untuk mempertahankan dan mengembangkan ajaran Islam, pesantren juga dikenal sebagai institusi yang paling gigih melawan kolonialisme Belanda.[30] 
G.   Penutup
Islam adalah suatu nama bagi agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Allah kepada manusia melalui seorang Rasul. Ajaran-ajaran yang dibawa oleh Islam merupakan ajaran manusia mengenai berbagai segi dari kehidupan manusia. Islam merupakan ajaran yang lengkap, menyeluruh dan sempurna yang mengatur tata cara kehidupan seorang muslim baik ketika beribadah maupun ketika berinteraksi dengan lingkungannya. Sedangkan Multikulturalisme adalah konsep yang mampu menjawab tantangan perubahan zaman dengan alasan multikulturalisme merupakan sebuah idiologi yang mengagungkan perbedaaan budaya, atau sebuah keyakinan yang mengakui dan mendorong terwujudnya pluralisme budaya sebagai corak kehidupan masyarakat.
Menjadikan Islam multikultural sebagai topik atau wacana masih menarik dan perlu disebar-luaskan. Hal ini setidaknya karena tiga alasan. Pertama, situasi dan kondisi konflik. Kedua, realitas yang bhinneka. Kebhinnekaan agama, etnis, suku, dan bahasa menjadi keharusan untuk disikapi oleh semua pihak, terutama umat Islam di Indonesia.  Ketiga, norma agama. Sebagai sebuah ajaran luhur tentu agama menjadi dasar yang kuat bagi kaum agamawan pada umumnya untuk membuat kondisi agar tidak carut-marut.  Perkembangan masyarakat muslim di berbagai penjuru dunia ada beberapa pendapat, pendapat pertama secara perspektif Internal kaum muslimin sendiri, Sedangkan pendapat kedua dalam konteks eksternal, kaum Muslimin yang bermukim dan hidup di dunia Barat, mengembangkan sikap multikultural dalam hubungan dengan masyarakat diluar mereka.
Eksistensi pesantren yang merupakan agen perubahan (agent of change) bagi masyarakat dalam diskursus global diharapkan mampu menjadi struktur mediasi (mediating structurf) yang mampu memahami persoalan-persoalan yang muncul dalam masyarakat dan dapat menjembatani pemberdayaan masyarakat untuk mewujudkan cita-cita bersama membentuk civil society. Kini telah menjadi harapan yang sia-sia.karena Peristiwa pengebonan di Bali dan Word Trade Center di New York telah memberikan pandangan yang negatif terhadap masyarakat luas. Gerakan yang mengatas namakan Islam memberikan wacana bahwa Islam tidak bisa menghargai multikultural yang ada di negara.

DAFTAR PUSTAKA

Abau Al Fadl, Khaled. 2006. “ Islamic Law and Muslim Minorities: The Juristic Discourse On Muslim Minorities from 8 th to 17 th Century CE/ 2 th to 11 th Century Hijrah, “ Singapore, MUIS Occational Papers Series

Abdurrahman wahid, syafi’I ma’arif dan mustofa bisri. 2009. Ilusi Negara Islam: ekspansi gerakan islam transnasional di Indonesia. The wahid institute dan maarif institute, Jakarta: Penerbit Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam

Ainul Yaqin, 2005. Pendidikan Multikultural: Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan, Yogyakarta: Pilar Media

Alqadrie, Syarif Ibrahim. 2005. Sosialisasi Pluralisme dan Multikulturalisme Melalui Pendidikan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

Asfar,  Muhammad Islam Lunak dan Islam Radikal (Pesantren, Terorisme dan Bom Bali), Surabaya: HAM PuSDeHAM  JP Press

Chinyong Liow, Joseph, 2006.  Muslim Resistance in Southern Thailand and Southern Philippines: Religion, Ideology and Politics,” Policy Study 24

Choirul, Mahfud. 2009. Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

H.A.R. Tilaar, 2004. Multikulturalisme, Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional. Jakarta: Grasindo


Lee Hock Guan, 2004. “ Intoduction: Civil Society in Southeast Asia, “ dalam Guan Hock Lee, ed. Civil Coiety in Southeast Asia, Singapura: ISEAS

Lewis,  Bernard, 2004. The Crisis Of Islam (Islam Dalam Krisis: Antara Perang Suci dan Teror Kotor), Surabaya: Jawa Pos Press

M. Imam Zamroni. 2005.Islam, Pesantren Dan Terorisme. Jurnal Pendidikan Agama Islam Vo1. ll. No. 2.

Mundzier Suparta, 2008. Islamic Multicultural Education: Sebuah Reflaksi atas Pendidikan Agama Islam di Indonesia, cet. Ke-1, Jakarta: Al-Ghazali Center

Mundzier Suparta, 2008. Islamic Multicultural Education: Sebuah Reflaksi atas Pendidikan Agama Islam di Indonesia, cet. Ke-1. Jakarta: Al-Ghazali Center

Nasib Mustafa, Jurnal Multikulturalisme dalam Persepektif Islam. Bogor: yayasan Fastabiqul Khairat.

Nata,Abudin. 2001. Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,

Sa’ad S. Khan, “The Organization of The Islamic Conference (OIC) an Muslim Minority,” Journal Of Muslim Minority Affairs 22, no. 2, 2002

Suaedy, Ahmad, 2012. Dinamika Minoritas Muslim Mencari Jalan Damai, Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI dan CISEAS-The Wahid Institute

Syafiq Hsyim,dll, 2008. Islam dan Multikulturalisme, Jakarta: ICIP

Syed Z. Abidin, The Study of Muslim Minority Problems: A Conceptual Approach,” dalam salem Azzam et. al., Muslim Communities in Non-Muslim States

Yaqin, Ainul, 2005. Pendidikan Multikultural: Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan, Yogyakarta:Pilar Media

Zakiyuddin Baidhawy, 2005. Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural. Jakarta: Erlangga

Irawan, Islam dan Multikulturalisme, (http://aqidahfilsafatuinsuka.blogspot.co.id/2011/02/islam-dan-multikulturalisme.html) diakses pada hari selasa, tanggal 22 september 2015 jm.10.00

H.      Non DAFTYA


[1] Syafiq Hasyim,dll, Islam dan Multikulturalisme, (Jakarta: ICIP, 2008), cet..1. vii.
[2] Ibid., vii
[3] Choirul, Mahfud. Pendidikan Multikultural. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009),. xi
[4] Bernard Lewis, The Crisis Of Islam (Islam Dalam Krisis: Antara Perang Suci dan Teror Kotor), (Surabaya: Jawa Pos Press, 2004),. 18
[5] Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural: Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan, (Yogyakarta:Pilar Media,2005), cet. 1. 4
[6] Nasib Mustafa, Jurnal Multikulturalisme dalam Persepektif Islam. Bogor: yayasan Fastabiqul Khairat. 28
[7]Abudin Nata, Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001. 172-173

[8] Zakiyuddin Baidhawy, Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural . Jakarta: Erlangga, 2005. 109
[9] Mundzier Suparta, Islamic Multicultural Education: Sebuah Reflaksi atas Pendidikan Agama Islam di Indonesia, cet. Ke-1. Jakarta: Al-Ghazali Center, 2008.  5
[10] Alqadrie, Syarif Ibrahim. Sosialisasi Pluralisme dan Multikulturalisme Melalui Pendidikan. Yogyakarta, 2005. 315
[11] H.A.R. Tilaar, Multikulturalisme, Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional,Jakarta, Grasindo, 2004. 137
[12] Ibid., 138
[13] Irawan, Islam dan Multikulturalisme, (http://aqidahfilsafatuinsuka.blogspot.co.id/2011/02/islam-dan-multikulturalisme.html) diakses pada hari selasa, tanggal 22 september 2015 jm.10.00
[14] Irawan, Islam dan Multikulturalisme, (http://aqidahfilsafatuinsuka.blogspot.co.id/2011/02/islam-dan-multikulturalisme.html) diakses pada hari selasa, tanggal 22 september 2015 jm.10.00

[15] Syafiq Hsyim,dll., op.cit., 255

[16] Syafiq Hsyim,dll., op.cit., 256
[17] Khaled Abau Al Fadl, “ Islamic Law and Muslim Minorities: The Juristic Discourse On Muslim Minorities from 8 th to 17 th Century CE/ 2 th to 11 th Century Hijrah, “ Singapore, MUIS Occational Papers Series 2006.
[18] Sa’ad S. Khan, “The Organization of The Islamic Conference (OIC) an Muslim Minority,” Journal Of Muslim Minority Affairs 22, no. 2, 2002
[19] Syed Z. Abidin, The Study of Muslim Minority Problems: A Conceptual Approach,” dalam salem Azzam et. al., Muslim Communities in Non-Muslim States, 17-30
[20] Ahmad Suaedy, Dinamika Minoritas Muslim Mencari Jalan Damai, Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI dan CISEAS-The Wahid Institute, 2012. 37
[21] Will Kymlicka, Multicultural Citizenship, 63.
[22][22] Joseph Chinyong Liow, “Muslim Resistance in Southern Thailand and Southern Philippines: Religion, Ideology and Politics,” Policy Study 24, 2006.  45-52
[23] Lee Hock Guan, “ Intoduction: Civil Society in Southeast Asia, “ dalam Guan Hock Lee, ed. Civil Coiety in Southeast Asia, Singapura: ISEAS, 2004,  1-25
[24]Abdurrahman wahid, syafi’I ma’arif dan mustofa bisri.. Ilusi Negara Islam: ekspansi gerakan islam transnasional di Indonesia. The wahid institute dan maarif institute, Jakarta: Penerbit Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2009. 9
[25] M. Imam Zamroni. 2005.Islam, Pesantren Dan Terorisme. Jurnal Pendidikan Agama Islam Vo1. ll. No. 2.
[26]Muhammad Asfar,  Islam Lunak dan Islam Radikal (Pesantren, Terorisme dan Bom Bali), Surabaya: HAM PuSDeHAM  JP Press , xvi
[27] Ibid., xvii
[28] Ibid., xviii
[29] Ibid., xix
[30] Ibid., xx

Tidak ada komentar:

Posting Komentar