Filsafat Pendidikan Islam (Resensi Buku)
Resensi oleh : Umiati (15770034)
Judul Buku : Integrasi Agama dan Filsafat (Pemikiran Epistemologi Al-Farabi)
Penulis : Dr. A. Khudori Soleh, M.Ag
Penerbit : UIN MALIKI PRESS (Anggota IKAPI)
Tebal : 153 Halaman
Cetakan : Cet. I September 2010
Judul Buku : Integrasi Agama dan Filsafat (Pemikiran Epistemologi Al-Farabi)
Penulis : Dr. A. Khudori Soleh, M.Ag
Penerbit : UIN MALIKI PRESS (Anggota IKAPI)
Tebal : 153 Halaman
Cetakan : Cet. I September 2010
Buku ini
merupakan sebuah sumbangsih yang sangat besar bagi kaum pelajar khususnya
setingkat mahasiswa dan mahasiswa pasca sarjana yang mungkin ingin
mengetahui pemikiran al-Farabi,
pengetahuan al-farabi serta bagaimana Al-Farabi memperoleh pengetahuan
tersebut. Dengan semua daya dan upaya
penulis optimalkan dalam menyusun buku ini, penulis adalah seorang yang ahli di
bidang filsafat dosen Studi Filasafat Islam UIN Maulana Malik Ibrahim Malang .
Lahir di Nganjuk, 24 Nopember 1968.
Penulis dalam
menyusun buku ini diawali dengan mejelaskan terlebih dahulu mengenai BAB I
Pendahuluan, BAB II Sketsa Biografis Al-Farabi, BAB III Sumber Pengetahuan, BAB
IV Cara Mendapatkan Pengetahuan, BAB V Validitas Pengetahuan dan BAB VI. Penutup.
Buku ini juga tidak ditulis secara sistematik menurut struktur Filsafat
Pendidikan.
Kelebihan dalam
buku ini, struktural, rinci jelas dan logis. Bahasa yang
digunakan mudah untuk dipahami. Kelemahan dalam buku ini penulis hanya
membicarakan beberapa topik atau tema saja yang dianggapnya penting. Bahkan
sebagian besar bahan-bahan materinya diangkat dari makalah-makalah yang pernah
penulis dibahas di forum-forum diskusi atau formal lainnya.
BAB I
PENDAHULUAN
Satu hal yang penting
dalam keilmuan dan upaya pengembangannya adalah pemahaman dan penguasaan atas
masalah epistemologi (sumber-sumber dan kebenaran pengetahuan). Sebab, ia
berkaitan dengan tata cara berpikir yang melahirkan dan menentukan validitas
sebuah keilmuan. Seperti yang ditulis Ali Syariati, pengetahuan yang benar
muncul dari cara berpikir yang benar, sedangkan cara berpikir yang benar muncul
dari epistemologi yang benar. [1]
Dalam kajian epistemologi,
rasionalisme dan empirisme dianggap sebagai aliran yang sangat dominan dan
menjadi pilar utama dalam metode keilmuan (modern scientific method).
Maksudnya, prinsip diatas dijadikan barometer keilmuan sebuah ilmu atau teori,
yakni ilmu atau teori tersebut rasional dan dapat dibuktikan secara empirik.
Sehingga apabila suatu pandangan tidak sesuai dngan kriteria diatas, maka tidak
dianggap ilmiah. [2] Kenyataannya, hampir tidak
ada disiplin keilmuan di belahan dunia yang tidak menggunakan barometer ini,
tidak terkecuali masyarakat Islam.[3]
Padahal, prinsip-prinsip
tersebut bukan tanpa masalah. Empirisme, misalnya, menurut laporan Traverso dan
Unesco, dalam banyak hal justru dapat mendorong terjadinya
reduksionisme.(Traverso, 1977: 410) Selain itu, secara umum prinsip-prinsip ini
tidak pernah benar-benar menunjukkan sesuatu yang objektif (berdasarkan
realitas) dan ilmiah, melainkan berdasarkan paradigma (cara pandang yang
dipengaruhi oleh personal, pertimbangan, kekelompokan, maupun sosial).
Belum lagi jika dikaitkan dengan khazanah keilmuan Islam, akan muncul dua
hal yang mendasar. Pertama, bahwa semua hal-hal yang gaib tidak dapat di
observasi secara pasti dan empirik inderawi.(Sardar, 1989: 75) Kedua,
secara metodologis, prinsip rasionalisme dapat menggiring pada proses
penyingkiran wahyu pada salah satu sumber ilmu pengetehuan sebagaimana yang
terjadi di kebanyakan masyarakat Barat. Secara garis besar, epistemologi
berkaitan dengan dua masalah pokok yang dikaji dalam buku ini:
1.
Apa sumber pengetahuan
dalam konsep keilmuan al-Farabi?
2.
Bagaimana cara untuk
mendapatkan pengetahuan? Apa ukuran validitas pengetahuannya?
Tujuan peresumean buku ini
adalah untuk melakukan eksplorasi atas pemikiran epistemologi al-Farabi. Adapun
signifikasinya dapat dilihat dari tiga aspek. Pertama, aspek material
kajian, yaitu epistemologi menjadi sesuatu yang sangat penting dalam menentukan
pengembangan keilmuan. Kedua, aspek kebutuhan, yaitu sebagai respon atas berbagai kelemahan dari
bentuk-bentuk epistemologi yang ada. Ketiga, aspek ketokohan, yaitu
al-Farabi adalah tokoh yang mempunyai pengaruh besar bagi perkembangan filsafat
dan pemikiran sesudahnya, baik Islam maupun Barat.
Untuk menyelesaikan
persoalan-persoalan yang dikaji dalam penelitian ini, digunakan dua teori
pokok. Pertama, klasifikasi epistemologi dari al-Farabi dan Mulyadi
Kartanegara yang terdiri atas 4 bentuk, yaitu:
a.
Bayani, adalah epistemologi yang menyatakan bahwa ilmu bersumber pada teks
(analisa teks), sedang validitasnya berdasarkan kesesuaiannya dengan makna
teks.
b.
Burhani, adalah epistemologi yang mendasarkan diri pada akal (logika), sedang
validitasnya berdasarkan koherensi.
c.
Irfani, adalah epistemologi yang mendasarkan diri pada intuisi (olah rohani),
sedang valiitasnya berdasarkan intersubjektif.
d.
Tajribi,adalah epistemologi yang mendasarkan diri pada realitas empirik(observasi
atau eksperimen), sedang validitasnya berdasarkan korespondensi.[4]
Kedua, teori kesadaran diri dari Suhrawardi yang menyatakan bahwa hubungan
langung tanpa halangan antara subjek yang mengetahui dan objek yang diketahui.
Pertemuan subjek dan objek inilah yang disebut kesadaran diri. Namun kesadaran
diri bukan bersifat mistik, melainkan rasional. Artinya, ia muncul bukan
berdasarkan atas olah spiritual, melainkan berangkat dari olah dan kekuatan
nalar.[5]
Objek penelitian filsafat
terdiri dari objek material (pikiran-pikiran al-Farabi yang berkaitan
dengan epistemologi) dan objek formal (bentuk pemikiran
epistemologinya). Sedangkan data-data yang diteliti terdiri dari data primer
(gagasan-gagasan yang ditulis sendiri oleh al-Farabi), data sekunder
(pemikiran-pemikiran al-Farabi yang digambarkan orang lain), dan data umum
(teori-teori yang berkaitan dengan epistemologi).
BAB II
SKETSA BIOGRAFI AL-FARABI
A. Kondisi Sosial Politik
Al-Farabi hidup pada
periode kedua masa perintahan Abbasiyah: suatu masa dimana
khalifah-khalifah yang memerintah di Baghdad secara politik tidak lagi kuat
seperti sebelumnya, sehingga mereka tidak kuasa melawan kehendak para perwira
pengawal keturunan Turki, dan secara intelektual pemikiran Muktazilah mulai
memudar seiring dengan munculnya ajaran salaf.
Pada masa pemerintahan
bani Abbas periode Pertama, kewaziran tersebut dapat dikontrol oleh
khalifah. Akan tetapi, pada periode berikutnya, lembaga kewaziran begitu kuat
dan berkuasa, serta tidak terkontrol oleh khalifah, sehingga ada yang berani
menyatakan diri sebagai sultan, amir al-umara’ dan al-mulk seperti yang
dilakukan bani Buwaih.[6] Ketidak
mampuan khalifah mengontrol kewaziran tersebut menyebabkan provinsi-provinsi
didaerah menjadi jauh dari pengawasan pemerintahan pusat, sehingga mendorong
para penguasa daerah untuk berkuasa penuh atas masing-masing otonom, seperti
wilayah Turkistan yang provinsi otonomnya berada dibawah kekuasaan bani Saman
dan wilayah Damaskus dan Aleppo yang sepenuhnya dikontrol oleh bani Hamdan.
Dalam kondisi politik seperti ini, banyak provinsi-provinsi yang saling
menyerang dan menduduki daerah lain untuk memperluas kekuasaan masing-masing.
Namun, yang jelas, dalam kaitannya dengan kehidupan dan karir intelektual
al-Farabi, para amir atau sultan wilayah Turkistan dan Aleppo ternyata adalah
penguasa yang sangat apresiatif terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan
filsafat.
B.
Gerak Intelektual
Kegiatan-kegiatan ilmiah
pada masa kekhalifahan bani Abbas bergerak dinamis seiring dengan perkembangan
politik yang ada. Menurut Atiyeh, kegiatan-kegiatan intelektual menempuh dua
jalan yang berbeda.[7]
Pertama, jalan ortodoks (salaf) yang dianut kebanyakan kaum
muslim yang menuju pembangunan dan pengembangan ilmu-ilmu bayani. Kedua, jalan yang kurang ortodoks (khalaf) yang
dipengaruhi oleh kebudayaan Yunani, Persia dan Syiria yang menuju pada
pengembangan tentang filsafat, matematika, astronomi, fisika dan geografi.
Pada periode awal,
aktivitas intelektual bergerak dan berkembang pesat, baik yang menempuh jalan
ortodoks, maupun jalan kurang ortodoks. Namun, sejak masa kekhalifahan
Al-Makmun (813-833 M), banyak usaha penerjemahan secara besar-besaran
terhadap buku-buku ilmiah dan filsafat yang diminati oleh kebanyakan khalifah
sesudahnya, sehingga ilmu yang digali melalui jalan yang kurang ortodoks sangat
dominan dan berkembang.[8]
Perkembangan yang pesat
pada ilmu-ilmu Yunani diatas, ditentang oleh kalangan salaf. Pertama,
karena adanya ketakutan ulama salaf bahwa ilmu-ilmu Yunani akan menyebabkan
berkurangnya rasa hormatterhadap Tuhan. Kedua, karena kebanyakan orang
yang mempelajari fisafat dan ilmu pengetahuan adalah orang-orang Kristen,
penganut Machianisme, dan pengikut madzhab Batiniyah yang dicurigai atas segala
kegiatan intelektual dan perenungan yang mereka lakukan. Ketiga, karena
untuk melindungi umat Islam dari pengaruh Machianisme. [9] Dengan demikian, pada masa
al-Farabi, telah terjadi perubahan pemikiran secara besar-besaran di Baghdad
dan pemikiran filsafat disana tetap berkembang hingga ke daerah-daerah.
C. Riwayat Hidup
Nama lengkap al-Farabi
adalah Abu Nasr Muhammad ibn Muhammad ibn Tharkhan ibn Auzalagh al-Farabi.
Lahir di Wasij, sebuah dusun kecil di distrik kota Farab, provinsi Transoxinia,
Turkistan, tahun 257 H/870 M. [10]
Pendidikan dasar dan masa
remaja dimulai di Farab, sebuah kota yang sebagian besar penduduknya mengikuti
fiqh madzhab Syafi’i. Disini ia mempelajari tata bahasa, kesusastraan,
ilmu-ilmu agama (khususnya fiqh, tafsir dan hadis), astronomi dasar dan Alquran.
Berkat kecerdasannya, al-Farabi berhasil menguasai hampir setiap subjek ilmu
pengetahuan yang dipelajari.[11] Setelah itu ia pindah ke Bukhara untuk menempuh studi lanjut fiqh dan
ilmu-ilmu lainnya. Saat itu, Bukhara merupakan pusat intelektual dan religius dinasti
Samaniyah. Disini juga, al-Farabi sempat menjadi seorang hakim (qadli)
setelah menyelesaikan studi ilmu-ilmu religiusnya. Akan tetapi, pada tahun 922
M, jabatan tersebut segera ditinggalkan setelah mengetahui ada seorang guru
yang mengajarkan ilmu-ilmu filosofis di Baghdad. Disini ia belajar logika dan
filsafat kepada Matta ibn Yunus (w. 939 M) dan terutama ibn Hailan (w. 932 M),
seorang tokoh filsafat aliran Aleksandria yang sekaligus mengajak al-Farabi ke
Konstatinopel (Romawi) dan menetap disana selama 8 tahun untuk lebih mendalami
ilmu filsafat.[12]
Sepulang dari Konstatinopel, al-Farabi mencurahkan diri dalam belajar, mengajar
dan menulis filsafat di Baghdad. Ketika situasi politik di Baghdad memburuk,
pada tahun 942 M, Al-Farabi pindah ke Damaskus yang dikusai oleh dinasti
Ikhsidiyah.[13] Namun, 3 tahun kemudian pindah ke Mesir karena terjadi konflik politik
antara dinasti Ikhsidiyah dengan Hamdaniyah. Setelah beberapa tahun di Mesir,
al-Farabi kembali lagi ke Damaskus dan pada tahun 949 M dan memenuhi undangan
Saif al-Daulah untuk mengikuti lingkaran diskusi orang-orang terpelajar.[14] Al-Farabi wafat di
Damaskus, bulan rajab 399 H/950 M pada usia 80 tahun dan dimakamkan di
pekuburan yang terletak diluar gerbang kecil (al-bab al-shaghir) kota
bagian selatan dan Saif al-Daulah sendiri yang memimpin upacara pemakaman
al-Farabi.
[15]
D.
Karya-Karya dan Konstribusinya dalam Perkembangan Keilmuan
Menurut catatan para
bilbliografi tradisional, terdapat 100 buah tulisan karya ilmiah al-Farabi,
baik besar dan kecil, yang mencakup tema linguistik, logika, fisika,
metafisika, politik, astronomi, musik dan beberapa tulisan tentang sanggahan
terhadap filosof tertentu.[16] Sementara itu, menurut seorang bilbliografi yang bernama al-Qifthi, ada 71
buah tulisan dalam berbagai disiplin keilmuan. Namun, pengarang buku ini
sendiri, setidaknya mendapat 119 buah karya al-Farabi, yang kebanyakan
menggunakan bahasa Arab dan kebanyakan diantaranya ditulis di Baghdad, Damaskus
dan Khurasan. [17]
Karya al-Farabi yang
terkenal adalah Ihsha’ al-Ulum (Perincian Ilmu-Ilmu), Di sini al-Farabi
mengklasifikasikan keilmuannya dalam 8 tema pokok: linguistik, logika, fisika,
metafisika, politik, ilmu matematika, yurisprudensi dan teologi. Karya
al-Farabi yang lainnya, dapat diklasifikasikan dalam beberapa tema. Pertama,
karya- karya dalam bidang logika. Ia menulis uraian atas Organon Aristoteles
secara lengkap dan diuraikan rangkap 3 yang sesuai dengan madzhab Aleksandria.
Selain itu, al-Farabi juga menulis artikel-artikel pendek yang berkenaan dengan
logika.[18] Sehingga, menurut Maimonides (w. 1204 M), seorang tokoh Yahudi abad
Pertengahan, dalam salah satu suratnya kepada Moses ibn Tibban (w. 1230 M)
menyarankan agar ibn Tibban tidak perlu menyibukkan belajar logika pada
buku-buku lain, tetapi cukup dengan karya-karya logika al-Farabi, karena
uraiannya sudah jelas dan mudah dipahami.[19]
Kedua, karya- karya dalam bidang fisika (thabi’iyat atau falsafah
kealaman). Ia menulis uraian tentang sejumlah filsafat alam Aristoteles.
Diantaranya adalah Syarh Kitab al-Sama’ al-Thabi’i li Aristhuthalis
(Komentar atas Fisika Aristoteles), Syarh Kitab al-Sama’ wa al-Alam li
Aristhuthalis (Bahasan atas Kitab Aristoteles tentang Langit dan Alam
Raya), dan lain-lain.
Ketiga, karya-karya dalam bidang metafisika. Banyak karya al-Farabi dalam bidang
ini yang dikenal memberikan pengaruh besar bagi perkembangan filsafat
sesudahnya. Diantaranya adalah karya-karya yang isinya berusaha mempertemukan
antara idealisme (Plato) dan empirisme (Aristoteles) dan antara agama dan
filsafat. Seperti Kitab fi Ittifaq Ara’ Aristhuthalis wa Aflatun (Titik
Temu Pemikiran Aristoteles dan Plato) dan Kitab Falsafah Aflatun wa Aristhuthalis
(Falsafah Plato dan Aristoteles).[20]
Keempat, karya-karya dalam bidang politik. Dalam buku Kitab fi al-Sa’adah
al-Maujudah karangan al-Farabi, kebahagiaan duniawi terdapat dalam
kehidupan ini, tetapi kebahagiaan tertinggi berada diluar kehidupan itu. Dalam
tulisan ini al-Farabi mensintesakan pandangan orang-orang bijak Yunani kuno,
khususnya Plato, dengan doktrin-doktrin ajaran Alquran dan Sunnah.[21]
Kelima, karya-karya tentang tanggapan atas tokoh pemikir sebelumnya. Antara lain, Kitab
al-Rad ala Jalinus (Jawaban atas Galinus), Shadr li Kitab al-Khithabah
(Koreksi atas Buku Retorika), Kitab al-Rad ala Yahya al-Nahwi fi Ma Radduhu
ala Aristhu (Bantahan terhadap Kritik John atas Aristoteles).[22]
Berdasarkan data-data
diatas, jelas bagaimana posisi dan kotribusi al-Farabi dalam perkembangan
keilmuan, dari Timur (Muslim) maupun dari Barat. Ia bukan sekedar sarjana atau
filosof yang suka hanyut dalam renungan-renungan spekulatif, melainkan tokoh
pemikir yang produktif. Sehingga, tidak salah jika dianggap sebagai salah
seorang filosof terbesar Islam dan diberi gelar sebagai al-Mu’allim al-Tsani
(Guru Kedua).
BAB III
SUMBER PENGETAHUAN
Sebelum masuk lebih jauh
dalam kajian epistemologi, khususnya pemikiran al-Farabi, ada satu hal yang
harus diketahui, yaitu adanya paham kesatuan dan hierarki keilmuan dalam Islam.
Gagasan tentang kesatuan ilmu tersebut, lahir dari hasil penyelidikan
tradisional terhadap epitemologi. Dalam pemahaman teologi Islam, sumber utama
pengetahuan, yakni wahyu dan alam yang melahirkan masing-masing keilmuan yang
kemudian dikenal dengan istilah ilmu agama dan ilmu umum adalah satu, yaitu
intelek Ilahi. Islam menyatakan bahwa Alquran adalah firman Tuhan dan alam
adalah ayat-ayat-Nya. Keduanya sama-sama berasal dari Tuhan, sehingga tidak ada
perbedaan diantara keduanya.[23] Oleh karena itu, para pemikir Muslim, termasuk al-Farabi, berusaha
mempertemukan wahyu dan rasio, agama dan filsafat.
Dengan demikian, terdapat
paham hierarki wujud dalam Islam, termasuk juga hierarki keilmuan sebagai
konsekwensi logis darinya. Gagasan tentang kesatuan dan hierarki keilmuan dapat
diterima sebagai kebenaran aksiomatik oleh masyarakat Islam pada abad
pertengahan pada masa al-Farabi dan ibn Rusyd. [24]
A. Konsep
tentang Pengetahuan
Menurut Fakhry (Farabi,
Fushul al-Muntazi’ah), al-ilm adalah kepastian tentang jiwa yang dicapai
oleh jiwa tentang suatu objek di mana kepastian tersebut diperoleh dari
penalaran logis berdasarkan teori-teori atau konsep yang benar, pasti dan
unggul. Al-Farabi mempersyaratkan beberapa hal, baik dari aspek subjek kajian
(pasti dan universal), maupun aspek metode (kevaliditasan metode), agar suatu
ilmu pengetahuan dapat dinilai sebagai sebuah ilmu.
Berdasarkan uraian diatas,
maka apa yang dimaksud ilmu dalam pandangan al-Farabi harus mengandung: (1)
subjek kajian yang dijadikan premis harus bersifat pasti dan universal, (2)
bertujuan untuk memehami hakikat objek, dan (3) dihasilkan dari metode tertentu
yang diakui kevaliditasnya.Selanjutnya, ilmu-ilmu yang diakui oleh al-Farabi
dibagi dalam beberapa bagian: berdasarkan perbedaan subjek, ilmu dibagi menjadi
empat (metafisika atau filsafat pertama, matematika, ilmu politik dan ilmu
fisika). Sedangkan yang berdasarkan luasnya ruang lingkup kajian, dibagi menjadi dua
(ilmu universal atau cakupan seluruh realitas dan ilmu patrikular atau cakupan
bagian-bagian eksistensi/pemikiran).
B. Intelek
Aktif sebagai Sumber Pengetahuan
Masalah sumber pengetahuan
adalah problem pertama dan fundamental dalam pembahasan epistemologi. Dalam
kajian filsafat barat, dikenal 3 sumber pengetahuan. Pertama, persepsi
indera, yaitu bahwa pengetahuan berdasarkan pengalaman-pengalaman kongkret.
Pemahaman inilah yang kemudian melahirkan aliran empirisme. Kedua, rasio, yaitu
bahwa pengetahuan berdasarkan akal pikiran atau rasio yang kemudian melahirkan
aliran rasionalisme. Ketiga, intuisi, yaitu pengetahuan langsung yang tidak
merupakan hasil pemikiran secara sadar atau persepsi indera. Namun, intuisi ini
belum sepenuhnya diterima sepenuhnya oleh filsafat barat, karena masih mencapai
tahap ‘mungkin’. [25]
Menurut al-Farabi, peran
pokok rasio juga diperlukan. Sebaliknya, kemampuan berpikir adalah kekuatan
utama menusia untuk memehami suatu objek dan memperoleh ilmu-ilmu (al-ulum),
mengembangkan seni dan industri (shina’at), serta membedakan antara
tidakan yang baik dan buruk. Al-Farabi membagi kemampuan berpikir dalam dua
bagian, yakni teoritis (kemampuan berpikir biasa yang digunakan untuk
mengetahui eksistensi-eksistensi yang tidak dapat dibuat dan dirubah dari satu
kondisi ke kondisi lainnya) dan praktis (sesuatu yang dimanfaatkan untuk
membedakan suatu objek dengan yang lain, sehingga kiita dapat membuat dan
merubahnya dari kondisi satu ke kondisi lain dalam bentuk keterampilan dan
reflektif atau fikriyah).
Dengan demikian, sumber
pengetahuan dalam prespektif al-Farabi adalah intelek aktif, yang merupakan
bentuk universal dan sederhana menjadi aktual, dan di sisi lain membimbing
intelek potensial manusia untuk mampu menangkapnya, sehingga memunculkan apa
yang disebut pengetahuan.
C. Realitas
Wujud sebagai Sumber dan Objek Pengetahuan
Realitas wujud adalah
bagian yang tidak dapat terpisahkan dari konsep ilmu al-Farabi. Ia
menetapkannya sebagai objek-objek yang diaktualkan oleh intelek aktif, sehingga
dapat dipahami oleh rasio. Oleh karena itu, pembahasan tentang realitas wujud
mejadi objek dan sumber pengetahuan.
1.
Pengertian Wujud
Al-Farabi menggunakan
istilah wujud dan maujud untuk menunjukkan pada sebuah
eksistensi. Istilah maujud merujuk pada zat dari sebuah eksistansi,
sedangkan wujud merujuk pada esensi (mahiyah) dari eksistensi
yang dimaksud, sehingga wujud dan maujud adalah satu adanya.
Namun, esensi yang dimaksud dengan konsep esensi Plato yang diturunkan dan ada
dalam dunia ide, atau konsep Aristoteles yang diartikan sebagai sebab,
melainkan sesuatu yang menjadi jawaban dari pertanyaan “apakah sesuatu itu?”
yang tidak merujuk pada zatnya, sehingga ia tidak bersifat material yang dapat
di observasi secara inderawi. Lebih dari itu, bentuk-bentuk wujud diatas diakui
al-Farabi tidak sama dengan eksistensi materialnya,proses abstraksi-abstraksi
pikiran yang berdasarkan tangkapan indera terhadap suatu objek mempunyai
eksistensi sendiri dan mandiri “di luar pikiran (kharij an-nafs)”.
Dengan konsep seperti ini,
maka istilah wujud dan maujud al-Farabi berarti mencakup seluruh
eksistensi, baik entitas-entitas material, entitas metafisik maupun
konsep-konsep dalam pikiran yang merupakan hasil dari olah nalar yang ada dalam
pikiran (al-maujud fi al-adzhan) dan dalam alam materi (al-maujud fi
al-a’yan). Al-Farabi sendiri secara jelas menyatakan bahwa maujud
merujuk pada tiga bentuk eksistensi: (1) Seluruh bentuk proposisi (al-maqulat),
(2) Persepsi-persepsi yang benar (shadiq) sesuai objek, dan (3) Seluruh
bentuk eksistensi di luar pikiran, baik yang dapat digambarkan maupun tidak. [26]
2. Yang
diaktualkan dan diketahui dari sebuah wujud
Menurut al-Farabi , yang
kita ketahui tentang sebuah objek adalah gambaran (representasi) objek atau ide
yang dipahami rasio yang berdasarkan tangkapan indera-indera eksternal terhadap
objek. Namun, ide ini bukan sama persis dengan wujud materialnya (monisme),
juga bukan sesuatu yang berbeda dengannya (dualisme), melainkan
representasi yang dihasilkan dari esensinya. Ia juga menjelaskan bahwasanya
suatu benda terdiri dari dua dimensi: dimensi wujud material (maujud)
yang mempunyai eksistensi dalam ruang dan waktu, dan dimensi wujud esensial (wujud)
yang tidak dapat menempati ruang dan waktu tertentu. Hubungan diantara keduanya
adalah seperti hubungan jiwa dan raga, dimana wujud material adalah wahana bagi
esensinya. Sehingga, keduanya mempunyai ‘kualitas’ yang sama. Esensi adalah
sesuatu apanya objek yang keberadaannya tidak tergantung pada diketahui
tidaknya suatu objek yang menyebabkan objek tersebut dapat dipikirkan dan
ditangkap oleh akal, yang proses penangkapan esensinya tidak lepas dari peran
intelek aktif. Sehingga, tanpa esensi yang diaktualkan oleh intelek aktif,
seseorang tidak dapat mengetahui adanya suatu objek.[27]
Dengan demikian, pandangan
al-Farabi tentang dimensi atau wujud esensif yang bersifat “kejiwaan” merupakan
bagian dari dunia metafisik dan diaktualkan dengan intelek aktif yang
dipikirkan, diketahui, dan dipahami oleh nalar dalam proses mengetahui, dan
ketika wujud esensif tersebut benar-benar wujud secara murni dan “mandiri”.
Dalam khazanah pemikiran filsafat Barat, pemikiran ini dapat diistilahkan
sebagai esensialisme, atau esensialisme kritis.[28]
3.
Bentuk-bentuk dan sifat realitas yang dapat diketahui
Menurut al-Farabi,
bentuk-bentuk realitas wujud dibagi menjadi beberapa bagian: wujud-wujud
spiritual (al-maujudat al-ruhiyah) dan wujud-wujud material (al-maujudat
al-mahiyah).[29] Kedua bentuk wujud diatas, berada dalam jenjang dan hierarkis yang berbeda,
dari wujud-wujud spiritual yang turun sampai pada wujud-wujud material.
Wujud-wujud spiritual ini sendiri berupa non-materi yang terdiri dari enam
tingkatan, antara lain:
a)
Allah, sebagai sebab
pertama (al-sabbab al-awwal), yang dari-Nya muncul intelek pertama
penggerak langit pertama.
b)
Intelek-intelek terpisah (al-uqul
al-mufariqah), yang sepenuhnya berupa malaikat langit. Terdiri atas
sembilan intelek yang dimulai dari intelek pertama penggerak langit pertama
sampai intelek kesembilan penggerak planet bulan.
c)
Intelek aktif (al-aql
al-fa’al), yang menjadi penghubung antara alam atas dengan alam bawah, alam
realitas spiritual dengan realitas material.
d)
Jiwa manusia (al-nafs
al-insaniyah).
e)
Bentuk (shurah),
adalah bentuk kongkret dari hayula, dan
f)
Materi (hayula),
adalah materi pembentuk benda yang bersifat non-fisik.
Menurutnya, tiga tingkat
pertama merupakan wujud-wujud murni yang tidak ada kaitannya dengan
bentuk-bentuk material, serta tingkat kedua dan ketiga mendapatkan pancaran dan
berhubungan langsung dengan Tuhan tanpa perantara, sehingga
tindakan-tindakannya dinilai sebaik-baiknya tindakan alam eksistensi.
Sedang tiga tingkat terakhir berhubungan dengan materi, walaupun substansi
ketiganya tidak bersifat material, serta ketiga-tiganya tidak berhubungan
langsung dengan Tuhan, melainkan melalui perantara intelek.
Adapun realitas-realitas
material juga terdiri dari enam tingkatan, antara lain:
a.
Benda-benda langit atau
angkasa (al-ajram al-samawiyah).
b.
Jasad-jasad manusia (ajsam
al-adamiyyin).
c.
Binatang (ajsam
al-hayawanat).
d.
Tumbuhan (ajsam
al-nabatat).
e.
Mineral (ajsam
al-ma’adan), dan
f.
Unsur-unsur pembentuk (al-istiqsat
al-arba’ah), yang terdiri dari udara, air, api, dan udara.[30]
Dari aspek sifatnya,
al-Farabi membagi aspek realitas wujud juga menjadi dua bagian: wujud potensial
(wujud bi al-quwwah) dan wujud aktual (wujud bi al-fa’l). Dalam
pandangannya, bentuk adalah prinsip ontologis yang lebih unggul daripada
materi, karena bentuklah yang mengaktualkan materi. [31] Oleh karena itu, wujud potensial bersifat
kontingen (mumkin), sedang wujud aktual bersifat pasti.[32]
D.
Mempertemukan Agama dan Filsafat
Al-Farabi menyelesaikan
masalah tersebut dengan konsepnya tentang intelek aktif. Al-farabi dianggap
sebagai orang pertama yang memberikan kajian secara mendalam dan sistematis
tentang persoalan wahyu dan rasio. Al-Farabi menyatakan bahwa orang yang
menerima wahyu (nabi) berarti telah menerima ma’rifah dan hikmah, sehingga ia
juga menyatakan bahwa nabi adalah seorang ahli filosof dan ahli hikmah,
sedangkan seorang filosof dan ahli hikmah belum tentu seorang nabi. [33]
Dalam pandangannya, wahyu adalah
sejenis proses pemahaman kosmik yang melalui intelek aktif untuk memehami
essensi dari Sebab Pertama dan sebab-sebab sekunder (prinsip-prinsip benda
langit) dengan mempunyai visi tentang Tuhan dan seluruh alam ruh. Namun, karena
wahyu juga harus disampaikan kepada manusia, maka dari titik sang penerima,
wahyu mengandung dua dimensi: teoritis (realitas-realitas spiritual dan
intelektual seperti yang dilihat dan dipahami oleh nabi sendiri) dan praktis
(undang-undang atau kebijaksanaan praktis yang disampaikan kepada manusia demi
tercapainya kebahagiaan). [34]
Menurut al-Farabi,
citra-citra dan lambang-lambang yang disampaikan oleh wahyu sebagai
tiruan-tiruan kebenaran juga merupakan suatu yang sangat penting, karena bagi
mereka yag tidak memiliki pengetahuan tentang filosofis, imitasi-imitasi citra
dan lambang merupakan sarana yang sangat penting dalam memahami kebenaran. [35]Meski demikian, tidak ada alasan untuk meragukan keabsahan dan objektifitas
wahyu yang diterima oleh seorang nabi, karena: (1) Nabi dikaruniai daya
imajinasi yang kuat, (2) Kebenaran wahyu yang terhindar dari kesalahan dan
kekeliruan, dan (3) kenyataan maknanya diakui oleh komunitas religius.[36]
Meski demikian, al-Farabi
tetap membedakan antara wahyu yang diperoleh nabi dengan hasil renungan para
filosof. Pertama, penerimaan wahyu oleh nabi bukan hanya melibatkan intelek
melainkan juga daya kognitif lainnya, sedangkan dalam perenungan filosofis,
hanya mengandalkan logika dan intelek (al-aql al-kulli). [37]
Kedua, nabi tidak memerlukan aktifitas atau pelatihan-pelatihan yangyang
melibatkan indera-indera internal atau ekternal, karena nabi telah diaugerahi
bakat intelektual yang luar biasa,sepeerti yang telah dijelaskan diatas,
sedangkan para filosof memerlukan pengembangan dan latihan-latihan, baik secara
indera-indera internal maupun eksternal. Dengan demikian, al-Farabi
menyelesaikan persoalan wahyu dan rasio lewat konsepnya tentang intelek aktif (al-aql
al-fa’al).
BAB IV
CARA MENDAPATKAN
PENGETAHUAN
Berkaitan dengan cara
mendapatkan pengetahuan tersebut, dalam tradisi pemikiran Barat, ada empat
cara, yaitu:
1)
Logika formal, adalah
bentuk rasionalitas logika yang berkaitan erat dengan koherensi dan kebenaran
universal.
2)
Penyelidikan empirik,
adalah persepsi atau rasa inderawi atas dunia pengalaman dan wujud yang selalu
berubah dalam ruang dan waktu tertentu.
3)
Pertimbangan normatif atau
evaluatif, adalah pertimbangan lebih baik atau lebih buruk, benar atau salah,
indah atau jelek, suci atau profan, dan seterusnya, tanpa meninggalkan logika
formal dan penyelidikan empirik.
4)
Synoptic atau rasionalitas menyeluruh, adalah membentuk suatu sistem dari ide-ide
umum yang koheren, logis dan tepat (necessary) yang dari sistem tersebut
setiap unsur dari pengalaman manusia dapat diinterpretasikan. [38]
Sedang, al-Farabi
mempunyai gagasan tersendiri tentang cara-cara mencapai pengetahuan ini. Namun,
terlebih dahuluakan dibahas pandangannya tentang sarana-sarana yang digunakan
untuk mencapai sebuah pengetahuan.
A. Sarana-Sarana yang
Dibutuhkan
Dalam perspektif filsafat
Barat, pandangan mereka tentang sarana pencapaian pengetahuan hanya meliputi
indera eksternal (berkaitan dengan objek-objek empirik atau objek-objek yang
kasat mata) dan rasio (berkaitan dengan objek-objek rasional). [39] Sedangkan dalam khazanah
pemikiran Islam, sarana-sarana pencapaian pengetahuan terdiri dari tiga hal. Pertama,
indera eksternal (al-hawas al-khams),yaitu alam fisis sensual dan
berhenti pada batas kawasan rasio.[40] Kedua, rasio (aql), yang bekerja
dalam kawasan abstrak dengan memenfaatkan input dari indera eksternal lewat
imajinasi (khayal) dan estimasi (wahm) serta berhenti pada
kawasan transenden.[41](Ghazali,
Mi’yar, tt: 62-65) Ketiga, hati (qalb)yang mejelaskan objek-objek
yang tidak dapat dijangkau oleh rasio.[42]
Berbeda dengan al-Ghazali,
al-Farabi meyatakan bahwa pengetahuan manusia diperoleh dari tiga daya yang
dimiliki, yaitu daya indera (al-quwwah al-hassah), daya imajinasi (al-quwwah
al-mutakhayyilah), dan daya pikir (al-quwwah al-nathiqah), yang
masing-masing disebut sebagai intelek eksternal, intelek iternal, dan intelek.
1.
Indera eksternal
Al-Farabi melukiskan bahwa
manusia adalah biatang rasional (al-hayawan al-nathiq)yang lebih unggul
dari mahluk-mahluk lainnya, karena memiliki kecerdasan(nuthq) dan
kemauan (iradah) yang keduanya merupakan fungsi daya-daya kemampuan yang
ada dalam diri manusia.(Farabi, tt: 91) Dalam Kitab Ara’ Ahl al-Madinah
al-Fadlilah, al-Farabi menjelaskan bahwa manusia mempunyai lima daya atau
kemampuan. Pertama,daya vegetatif (al-quwwah al-ghadziyah), yaitu
kemampuan tumbuh untuk menjadi besar dan dewasa. Kedua,daya penginderaan
(al-quwwah al-hassah), yaitu menjadikan manusia bisa menerima dan merasakan
rangsangan dari luar. Ketiga, daya imajinasi (al-quwwah
al-mutakhayyilah), yaitu daya yang dapat memberikan kesan atas apa yang
dirasakan meski objek telah tidak dalam jangkauan indera. Keempat, daya
pikir (al-quwwah al-nathiqah) ,yaitu menjadikan manusia dapat memahami
berbagai pengertian. Kelima,daya rasa (al-quwwah al-tarmi’iyyah), yaitu
dapat memberikan kesan tantang suka atau tidak suka terhadap suatu objek.
Indera
eksternal (al-hawas al-zhahirah) terdiri dari lima unsur, yaitu:
penglihatan, penciuman, pendengaran, peraba, dan pengecap yang berkaitan dengan
objek material. Kemampuan indera ini adalah kemampuan yang paling lemah dan
terbatas, sehingga al-Farabi, al-Ghazali dan ibn Arabi meletakkan indera
eksternal pada posisi yang paling rendah diantara indera-indera manusia. Meski demikian, akal sehat tidak masuk dalam
indera eksternal maupun indera internal. Al-Farabi menempatkan akal sehat pada
posisi netral diantara kedua jenis indera tersebut. [43]
2.
Indera internal
Indera internal
(al-hawas al-bathinah) adalah bagian dari jiwa yang mempunyai lima daya
atau kemampuan yang tidak dimiliki oleh indera eksternal. Kelima daya tersebut
adalah: Pertama, daya representasi (al-quwwah al-mumushawwirah), yaitu
kemampuan untuk menyimpan bentuk-bentuk suatu objek, meskipun objek tersebut
telah hilang dari jangkauan indera. Namun, bentuk-bentuk tersebut masih
mempunyai ikatan materialnya, seperti ruang, waktu, kualitas dan kuantitas. Kedua,daya
ingat (al-quwwah al-hafizhah), yaitu kemampuan untuk menyimpan
entitas-entitas non-material yang ditangkap oleh wahm.[44] Ketiga,
daya estimasi (al-quwwah al-wahmiyah), yaitu. Keempat, daya
imajinasi rasional (al-quwwah al-mufakkirah), yaitu kemampuan
imajinasi yang memanfaatkan citra-citra yang telah tercipta lewat bantuan
wahm,dan Kelima,daya imajinasi (al-quwwah al-mutakhayyilah), seperti yang telah dijelaskan pada pembahasan
sebelumnya.
3.
Intelek (al ‘aql al-kulli)
Istilah “intelek” dalam
bahasa arab, disebut akal (al-‘aql). Namun ia tidak sama dengan rasio
yang juga terjemahan dari kata ‘aql. Al-Farabi memakai dua istilah
tentang masalah ini: al-‘aql al-juz’i yang diterjemahkan sebagai
rasio dan al-‘aql al-kulli yang diterjemahkan sebagai intelek. Dalam
konsep pencapaian keilmuan al-Farabi, intelek mempunyai dua kemampuan, yaitu:
kemampuan teoritis (nazhari), yang digunakan untuk memahami objek-objek
intelektual (al-ma’qulat), dan kemampuan praktis (‘amali), yang
dapat membedakan satu sama lainnya sehingga kita dapat menciptakan atau
mengubah dari kondisi satu ke kondisi lainnya. [45]
Selanjutnya, dalam Risalah
fi Ma’ani al-Aql (Risalah tentang Makna-Makna Intelek), al-Farabi
menjelaskan intelek dalam enam bagian, yaitu:
a.
Intelek yang oleh
masyarakat awam dikenakan kepada orang-orang yang cerdas atau cerdik (perceptive)
yang diistilakan sebagai ”kesepatakan umum”.
b.
Intelek yang digunakan
untuk mengukur “kemasuk-akalan”.
c.
Intelek yang menghantarkan
manusia untuk mengetahui “prinsip-prinsip pembuktian (demonstration)”
secara intuitif.
d.
Intelek sebagai “intelek
praktis hasil pergumulan panjang manusia yang memberinya kesadaran tentang
tindakan yang patut dipilih atau dihindari.
e.
Intelek yang mencakup
empat bagian, antara lain:
1)
Intelek potensial (al-‘aql
bi al-quwwah), yang berfungsi untuk mengabstraksikan dan menyerap
esensi-esensi wujud.
2)
Intelek aktual (al-‘aql
bi al-fi’l), yang berfungsi sebagai menyerap esensi-esensi wujud yang ada
dalam intelek potensial sekaligus bersenyawanya bentuk-bentuk pemahaman atau
persepsi hasil dari abstraksi tersebut.
3)
Intelek perolehan (al-‘aql
al-mustafad), yang berfungsi sebagai proses lebih lanjut dari intelek
aktual, yakni dapat melakukan proses pemahaman tanpa bantuan kekuatan lain (self-intellevtive). Dan menjadi tanda pucak kemampuan intelektual manusia sekaligus garis
pembatas antara alam material dan intelegensi.[46]
4)
Intelek aktif (al-‘aql
al-fa’al), yang merupakan intelek terpisah dan tertinggi dari semua
intelegensi, yang merupakan perantara adi-kodrati (super mundane agency)
yang memberdayakan intelek manusia agar dapat mengaktualkan pemahamannya untuk
menyelaraskan filsafat (Yunani) dengan doktrin-doktrin keyakinan Islam.
f.
Intelek yang berpikir dan berswacita mengenai dirinya sendiri. Dalam teologi
Islam, inilah yang disebut dengan Tuhan. Yang sepenuhnya bebas dari kenistaan
dan ketidaksepurnaan. [47]
B. Tahap-tahap Perolehan
Pengetahuan
1.
Pembentukan teori (tashawwur)
Teori ilmiah (tashawwur
ma’a tasdhiq), yang muncul sebagai hasil dari uji rasional dan dibuktikan
secara keilmuan. Dalam proses terjadinya sebuah konsep, al-Farabi
menjelaskannya ada dua macam. Pertama, terjadi secara langsung tanpa
didahului keinginan untuk mengetahuinya, karena konsepsi tersebut bersifat umum
bagi setiap manusia yang dilengkapi watak alami (fithriyah) untuk
mengetahuinya. Kedua, lewat penyelidikan induktif, yaitu suatu proses
berpikir yang berusaha untuk menemukan universalitas dari kajian objek-objek
partikular, sehingga tidak sama dengan metode induksi konvensional pada umumnya.
Dalam proses penyelidikan induksi ini, ada tahapan-tahapan tertentu yang harus
dijalani. Pertama-tama, dimulai dari tahap yang paling mudah dipahami oleh
intelek, kemudian agak sulit, lebih sulit, dan seterusnya, hingga memperoleh
kesimpulan-kesimpulan yang bersifat universal dan dengan adanya keterlibatan
intelek dalam proses inteleksi (pemahaman) hingga bentuk-bentuk pengetahuan
tersebut lepas dari materi serta tidak tergantung pada daya pengindera dan daya
imajinasi.
[48]
Selanjutnya, ketika
intelek aktual mempunyai kemampuan seperti diatas, maka ia akan menjelma
sebagai intelek perolehan. Dan apabila intelek perolehan tersebut bisa
bersenyawa dengan intelek aktif, maka intelek perolehan dapat memperoleh
pengetahuan langsung dan menjadi wahana wahyu Ilahi.
2.
Penalaran logis
Al-Farabi menyebutkan
bahwa ada tiga model penalaran, yaitu (1) Silogisme (qiyas), adalah
suatu penalaran dimana premis-premis dirujukkan bersama yang dapat menimbulkan
term tengah (al-hath al-ausath), sehingga sebuah konklusi niscaya
menyertainya.[49] Selanjutnya, berdasarkan materi dan kualitas premis-premis, silogisme
dibagi dalam dua bentuk. Pertama, silogisme
demonstratif atau al-qiyas al-burhani (premis-premis yang benar, valid
dan diperlukan). Kedua, silogisme dialektis atau al-qiyas al-jadali
(premis-premis yang “mendekati keyakinan”). (2) Induksi (tashaffuh),
adalah suatu bentuk pengujian atas setiap contoh khusus yang tergolong dalam
subjek universal untuk menilai hal tersebut bersifat universal atau tidak, dan
(3) Retorika (al-khutabi), adalah suatu bentuk penalaran yang didasarkan
atas premis-premis yang kualitasnya hanya bersifat percaya semata (sukun
an-nafs).[50]
C. Metode Ilmu Keagamaan
dan Ilmu Filosofis
Dalam Ihsha’ al-Ulum, al-Farabi membagi ilmu-ilmu menjadi empat bagian, antara lain:
1)
Metafisika, adalah ilmu
yang mengkaji realitas-realitas non fisik yang terdiri atas: (1) Ontologi (wujud dan sifat-sifatnya), (2)
Prinsip-prinsip demonstatif (prinsip-prinsip pemikiran dan proses penalaran),
dan (3) Wujud yang tidak berupa benda atau berada dalam benda.
2)
Matematika, adalah ilmu
yang mempelajari bilangan (kualitas diskrit atau al-kam al-munfashilmmm)
dan besaran (kualitas kontinu atau al-kam al-muttasil).
3)
Fisika, adalah ilmu yang mempelajari
benda-benda bumi dan aksiden-aksidennya, serta yang berkenaan dengan sebab
material, sebab efisien, sebab formal, dan sebab final.
4)
Politik, adalah ilmu yang
mempelajari tentang bentuk-bentuk dan cara hidup sadar, serta mencakup perilaku
manusia dan masyarakatnya yang berupa kehendak (iradah) dan pilihan (ikhtiyar).[51]
Secara metodologis,
ilmu-ilmu filosofis menggunakan metode demonstrasi (burhani atau
premis-premis yang valid, primer dan terbukti secara rasional), sedangkan
ilmu-ilmu keagamaan menggunakan metode dialektik (jadali atau tidak
mempersyaratkan diatas dasar premis-premis). Namun, al-Farabi menilai bahwa dalam ilmu-ilmu
keagamaan, khususnya teologi, ia lebih menggunakan metode jadali, karena: Pertama,
teologi (‘ilm al-kalam) digunakan untuk meneguhkan dan membela diri dari
serangan pihak lain. Kedua, karena dalam ilmu-ilmu keagamaan lebih
banyak didasarkan atas premis-premis yang diterima secara imani (tauqifi)
atau karena dianggap telah mashur. [52]
BAB V
VALIDITAS PENGETAHUAN
Adalah kajian epistemologi
yang membahas tentang keabsahan pengetahuan ataau suatu pernyataan. Untuk
membuktikan validitas suatu pengetahuan, dalam pemikiran Barat dikenal tiga
macam uji kebenaran. Pertama, korespondensi, adalah validitas
pengetahuan yang ditentukan oleh kesesuaian dengan realitas (fidelity to
objective reality). Kedua, konsistensi atau koherensi, adalah
validitas pengetahuan yang diperoleh dari konsistensi (sesuai) dengan
pernyataan-pernyataan lain yang telah diterima kebenarannya. Ketiga,
pragmatik, adalah validitas yang diterima dari keterkaitannya dengan
kemanfaatan (utility), kemungkinan dikerjakan (workability) atau
memberikan akibat yang memuaskan (satisfactory result). [53]
A. Keunggulan premis
Menurut al-Farabi,
validitas suatu pengetahuan didasarkan atas keshahihan premis-premis yang
digunakan. Keunggulan premis merupakan faktor utama dalam penilaian validitas
suatu pengetahuan.[54] Dalam penjelasanya, al-Farabi membagi premis-premis dalam empat tingkatan. Pertama,
pengetahuan primer (al-maqulat al-ula), yaitu premis-premis yang
mempunyai tingkat kebenaran yang pasti. Premis ini terbagi menjadi dua, yaitu:
(1) Prinsip-prinsip primer (al-mabadi’ al-ula) yang berarti
prinsip-prinsip yang bersifat pasti dan dipahami sebagai sesuatu yang telah
lazim, dan (2) Aksioma-aksioma keyakinan (awail al-yaqin) yang berarti
premis-premis atau teori-teori yang dihasilkan dari penelitian induktif
metafisik (potensi intelek yang bersifat metafisik).(Farabi, Tahshi
al-Sa’adah) Kedua, pengetahuan indera (al-mahsusat), yaitu
premis-premis yang dihasilkan dari pengujian-pengujian lapangan. Ketiga,
opini-opini yang umumnya diterima (al-masyhurat), yaitu premis-premis
atau pernyataan-pernyataan yang diakui oleh semua orang atau mayoritas orang,
atau oleh semua sarjana (ulama) dan orang-orang yang berakal (uqala)
atau mayoritas mereka. Keempat, opini-opini yang diterima (al-maqbulat),
yaitu premis-premis yang diterima lebih karena pertimbangan kepercayaan atau
keimanan dan bukan karena kebenaran dan analisis rasional. [55]
B. Kesesuaian dengan
tujuan akhir
Di samping derajat premis,
validitas pengetahuan al-Farabi juga dikaitkan dengan tujuan akhir manusia. Menurut
al-Farabi, tujuan akhir manusia adalah mencapai kebahagiaan tertinggi (al-sa’adah
al-quswa) yang disamakan dengan kebaikan mutlak (al-khair ‘ula
al-ithlaq), yaitu Tuhan, karena eksistensinya bebas dan tidak lagi membutuhkan
materi. Ia menyatakan bahwa kebahagiaan manusia hanya bisa dicapai apabila
seseorang mau dan mampu mengaktualisasikan nilai-nilai positif dirinya dalam
kehidupan, dengan cara banyak berbuat kebajikan. Kebajikan ibagi menjadi dua,
yaitu: (1) Kebajikan teoritis. Kebajikan teoritis dibagi menjadi tiga. Pertama, keutamaan
intelek teoritis, adalah pengetahuan-pengetahuan primer yang bisa digunakan
untuk mendapatkan pengetahuan-pengetahuan teoritis lain secara meyakinkan. Kedua,
pengetahuan (al-ilm), adalah ilmu-ilmu yang meyakinkan tentang
keberadaan objek-objek yang diperoleh lewat metode demonstatif yang didasarkan
atas pengetahuan primer diatas. Ketiga, kebijaksanaan (al-hikmah),
adalah pengetahuan tentang Yang Maha Esa dalam hubungannya dengan selain-Nya
yang banyak dan beragam.(Farabi, 1961: 27 dan
42-44) (2) Kebajikan praktis, adalah pertimbangan-pertimbangan yang bisa atau
memungkinkan bagi seseorang untuk memberikan keputusan tentang sesuatu saat
dihadapkan pilihan-pilihan secara umum atas dasar pengalaman dan pengamatan
pribadi.
C. Pertimbangan Realisasi
Bagi al-Farabi, kehidupan
masyarakat adalah sesuatu yang sangat penting dan tidak bisa diabaikan, karena
ia sangat menentukan bagi kehidupan individu, termasuk sang filosof sendiri. Ia
menegaskan bahwa seorang filosof harus menjadi agen pembaharu (agent of
change) yang menuntun dan membawa masyarakatnya kepada kondisi ideal yang
diidamkan.
[56]
Menurut Mahdi, perhatian
al-Farabi dalam realisasi pengetahuan adalah: Pertama, didasarkan atas
hubungan antara wahyu dengan apa yang diketahui oleh rasio. Kedua, ketidakpuasannya
terhadap pendekatan yang digunakan oleh para filosof muslim pada masa periode
awal dan pendahulu Neo-platonik mereka pada masa Hellenistik.[57]
Oleh karena itu, apa yang
diketahui oleh rasio bukan sesuatu yang lepas dari realitas melainkan harus direalisasikan
dalam kenyataan. Artinya, validitas pengetahuan dan perenungan-perenungan
metafisis bukan dinilai dari besarnya gagasa melainkan dapat direalisasikan dan
mengubah tatanan masyarakat menjadi lebih baik.
BAB VI
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1)
Sumber
pengetahuan dalam konsep al-Farabi adalah intelek aktif (al-‘aql al-fa’al),
yang sekaligus digunakan untuk mempertemukan agama dan filsafat. Menurutnya,
agama dan filsafat berasal dari sumber yang sama, yaitu intelek aktif, sehingga
keduanya tidak mungkin bertentangan.
2)
Pengetahuan
dalam konsep epistemologi al-Farabi diperoleh lewat dua tahapan pokok:
pembentukan teori (tashawwur) dan penalaran logis. Di antara penalaran
logis saat itu, sistem demonstrasi (burhani) dinilai lebih valid dan
unggul. Sarana yang dibutuhkan untuk mendapatkan pengetahuan terdiri atas tiga
hal: indera eksternal, indera internal, dan intelek. Al-Farabi menyebut lima
macam indera internal dan menempatkan daya imajinasi diatas daya rasional serta
berfungsi sebagai penghubung dengan intelek aktif.
3)
Validitas
pengetahuan diukur atas tiga hal, yaitu keunggulan premis, kesesuaiannya dengan
tujuan akhir, dan kemungkinannya yang dapt direalisasikan. Tujuan akhir dalam
keilmuan al-Farabi adalah kebahagiaan tertinggi yang dicapai dengan
mengaktualisasikan seluruh potensi diri.
B.
Catatan
a.
Adanya sistem
rasionalitas al-Farabi. Meski pemikiran al-Farabi didasarkan atas prinsip
rasionalitas, tetapi rasionalitas al-Farabi dikaitkan dengan peran intuisi,
yang disebut dengan istilah “rasional-irfani”.
b.
Adanya
kecenderungan al-Farabi yang dekat dengan irfani tampaknya tidak lepas dari
pribadi dan lingkungannya. Al-Farabi ditengarai oleh penganut Syiah dan hidup
dalam lingkungan kekuasaan yang juga mengikuti paham Syiah. Ini menguatkan
teori yang telah ada bahwa pemikiran seseorang tidak lepas dari siapa, kapan,
dimana, dan bagaimana.
c.
Bagaimanapun
rasionalnya sistem penalaran yang dikembangkan dalam Islam, paling tidak pada
al-Farabi, ia tidak melepaskan diri dari ajaran wahyu dan realitas metafisik.
Artinya, disana ada hubungan yang sangat dalam antara rasionalitas dan wahyu.
Oleh karena itu, pengembangan keilmuan Islam di masa depan harus
mempertimbangkan dan mencurahkan perhatian yang besar pada
keterkaitan-keterkaitan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Akbar S. 1988. “Discovering Islam Making Sence of Muslim History
and Society“. London: Routledge dan Kegan Paul.
Arabi, Ibn. Tanpa tahun. “Fushush al-Hikam“, I. Beirut: Dar
al-Kitab.
Atiyeh, George N. 1983. “Al-kindi Tokoh Filosof Muslim“, terj.
Kasidjo. Bandung: Putaka.
Bagus, Lorens. 1996. “Kamus Filsafat“. Jakarta: Gramedia.
Bakar, Osman. 1997. “Hierarkhi Ilmu“, terj. Purwanto. Bandung:
Mizan.
Black, Deborah L. 1996. “Al-Farabi“, dalam Husein Nasr dan Oliver
Leaman, History of Islamic Philosophy, I. London and New York:
Routledge.
Dabla, Bashir. 1992. “Ali Syariati dan Metodologi Pemahaman Islam“,
dalam jurnal al-Hikmah, edisi 4. Bandung: Febr.
Din, Syams al-. 1990. “Al-Farabi, Hayatuh, Atsaruh, Falsafatuh“.
Beirut: Dar al-Kutub.
Farabi, 1890. “Fi Ma Yanbaghi an-Yuqaddam Ta’allum al-Falsafah“,
dalam Friedrich Dieterichi (ed), al-Tsamrah al-Mardliyah. Leiden: BJ.
Brill.
Farabi. 1890. “Maqalah fi Ma’ani al-Aql“, dalam Friedrich Dieterichi
(ed), al-Tsamrah al-Mardliyah. Leiden: BJ. Brill.
Farabi. 1890. “Risalah fi Jawab Masail Suila Anha“, dalam Friedrich
Dieterichi (ed), al-Tsamrah al-Mardliyah. Leiden: BJ. Brill.
Farabi. 1890. “Risalah Fushush al-Hikam“, dalam Friedrich Dieterichi
(ed), al-Tsamrah al-Mardliyah. Leiden: BJ. Brill.
Farabi. 1890. “Uyun al-Masa’il“, dalam Friedrich Dieterichi (ed), al-Tsamrah
al-Mardliyah. Leiden: BJ. Brill.
Farabi. 1961. “Fushul al-Madani“ (Aphorisme of the Statesman), terj.
dan ed. DM. Dunlop. Cambridge: Cambridge University Press.
Farabi. 1962. “Tahshil al-Sa’adah“ (The Attainment of Happines)
dalam Muhsin Mahdi (terj. dan ed.), Philosophy of Plato and Aristoteles.
New York: The Free Press.
Farabi. 1968. “Kitab al-Alfazh al-Musta’malah fi al-Manthiq“, (ed)
Muhsin Mahdi. Beirut: Dar al-Masyriq.
Farabi. 1970. “Kitab al-Huruf“, (ed) Muhsin Mahdi. Beirut: Dar
al-Masyriq.
Farabi. 1985. “Mabadi’ Ara’ Ahl al-Madina al-Fadlila“ (On the
Perfect State), terj. dan ed. Richard Walzer. Oxford: Clarendon Press.
Farabi. 1996. “Ihsha’ al-Ulum“, (ed) Ali Bumulham. Mesir: Dar
al-Hilal.
Farabi. Tanpa tahun. “Al-Madinah al-Fadlilah“, dalam Yuhana Qumair
(ed), Falasifah al-Arab: al-Farabi. Beirut: Dar al-Masyriq.
Farabi. Tanpa tahun. “Al-Siyasah al-Madaniyah“, dalam Yuhana Qumair,
Falasifah al-Arab: al-Farabi. Beirut: Dar al-Masyriq.
Ghalab, M. Tanpa tahun. “Al-Ma’rifah in Mufakkiri al-Muslimin“.
Mesir: Dar al-Misriyah.
Ghazali. 1996. “Al-Munqidz Min al-Dlalal“, dalam Majmu’ah Rasail.
Beirut: Dar al-Fikr.
Ghazali. 1996. “Misykat al-Anwar“, dalam Majmu’ah Rasail.
Beirut: Dar al-Fikr.
Ghazali. Tanpa tahun. “Al-Maqshad al-Asna fi Syarh Asma Allah al-Husna“,
(ed) M. Usman. Kairo: Maktabah al-Qur’an.
Ghazali. Tanpa tahun. “Mi’yar al-ilm“, (ed) Sulaiman Dunya. Kairo:
Dar Ma’arif.
Hadiwijono, Harun. 1996. “Sari Sejarah Filsafat Barat“, I.
Yogyakarta: Kanisius.
Hanafi, Hasan. Tanpa tahun. “Dirasat Falsafiyah“. Kairo: Maktabah
al-Misriyah.
Hasymi. 1975. “Sejarah Kebudayaan Islam“. Jakarta: Bulan Bintang.
Iraqi,Athif. 1984. “Tsaurah al-Aql fi al-Falsafah al-Arabiyah“.
Kairo: Dar al-Ma’arif.
Jabiri. 1990. “Bunyah al-Aql al-Arabi“. Bairut: Markaz al-Tsaqafah.
Kartanegara, Mulyadi. 2003. “Pengantar Epistemologi Islam“. Bandung:
Mizan.
Kattsoff, Louis. 1996. “Pengantar Filsafat“, terj. Soejono
Soemargono. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Khallikan, Ibn. Tanpa tahun. “Wafayat al-a’yan“, V. Beirut: Dar
al-Syadir.
Leaman, Oliver. 1988. “Pengantar Filsafat Islam“, terj. Amin
Abdullah. Jakarta: Rajawali Press.
Lexicon Universal Encyclopedia. 1990. New York: lexicon Publications.
Ma’ruf, Naji. 1976. “Al-Farabi Arabi al-Muwathin wa al-Murabbi“,
dalam Hasan Bakar, al-Farabi Wa al-Hadlarah al-Insaniyah. Baghdad: Dar
al-Huriyah.
Macmurray, John. 1933. “The Philosophy of Comunism“. London: Faber
and Faber.
Madkour, Ibrahim. 1995. “al-Farabi” dalam MM. Syarif, A History
of Muslim Philosophy, I. New Delhi: Low Price Publications.
Mahdi, Muhsin. 1992. “Al-Farabi and Fondation of Islamic Philosophy“,
dalam Issa J. Boullata (ed), An Antology of Islamic Studies. Montreal:
MC. Gill.
Mason, Stephen. 1962. “A History of the Science“. New York: Collier
Books.
Nasr, Husein. 1972. “Sufi Essays“. Albany: SUNY Press.
Netton, Ian Richard. “Al-Farabi and His School“. London and New
York: Routledge.
Qifthi. 1890. “Tarikh al-Hukama“, dalam Friedrich Dieterichi (ed), al-Tsamrah
al-Mardliyah. Leiden: EJ. Brill.
Qumair, Yuhana. 1986. “Falasifah al-Arab: al-Farabi“. Beirut: Dar
al-Masyriq.
Rahman, Fazlur. 2003. “Kenabian dalam Islam“, terj. Rahmani Astuti.
Bandung: Pustaka.
Schoun, Frithjof. 1970. “Dimensions of Islam“. London: Allen dan
Unwin.
Shadr, Baqir al-. 1999. “Talsafatuna“, terj. Nur Mufid. Bandung:
Mizan.
Sou’eb, Yousouf. Tanpa tahun. “Sejarah Daulah Abbasiyah“, II.
Jakarta: Bulan Bintang.
Syariati, Ali. 1992. “Humanisme Antara Islam dan Mazhab Barat“,
terj. Afif Muhammad. Bandung: Pustaka Hidayah.
Titus, Harold et al. 1984. “Persoalan-Persoalan Filsafat“, terj.
Rasjidi. Jakarta: Bulan Bintang.
Traverso, Buzzati. 1977. “The Scientific Enterprice, Today, and
Tomorrow“. New York: UNESCO.
Ziai, Husein. 1998. “Suhrawardi dan Filsafat Illuminasi“, terj. Afif
Muhammad. Bandung: Zaman.
Zidan, George. “Tarikh Adab al-Lughah al-Arabiyah“, I. Beirut: Dar
al-Fikr.
[1] Syariati, Ali. “Humanisme Antara Islam dan Mazhab
Barat“, terj. Afif Muhammad. (Bandung: Pustaka Hidayah.1992).hlm. 28
[5] Husein, Ziai. “Suhrawardi
dan Filsafat Illuminasi“, terj. Afif Muhammad. (Bandung: Zaman. 1998). Hlm. 141-143
[6]
Yousouf, Sou’eb.
Tanpa tahun. “Sejarah Daulah Abbasiyah“, II. (Jakarta: Bulan Bintang). Hlm. 172
[7] Atiyeh, George N. “Al-kindi Tokoh
Filosof Muslim“, terj. Kasidjo. Bandung: Putaka, 1983). hlm. 3
[11] Ibrahim, Madkour. “al-Farabi” dalam
MM. Syarif, A History of Muslim Philosophy, I. (New Delhi: Low Price
Publications, 1995),
hlm. 184
[12] Muhsin, Mahdi. “Al-Farabi and
Fondation of Islamic Philosophy“, dalam Issa J. Boullata (ed), An
Antology of Islamic Studies. (Montreal: MC. Gill, 1992). Hlm. 11
[17] Ma’ruf , Naji. “Al-Farabi Arabi al-Muwathin wa al-Murabbi“, dalam Hasan Bakar, al-Farabi Wa
al-Hadlarah al-Insaniyah. Baghdad: Dar al-Huriyah). 1976. Hlm. 470
[22] Qifthi. “Tarikh al-Hukama“, dalam Friedrich
Dieterichi (ed), al-Tsamrah al-Mardliyah. Leiden: EJ. Brill, 1890). Hlm. 117
[25] Titus, Harold
et al. “Persoalan-Persoalan Filsafat“, terj. Rasjidi. (Jakarta: Bulan Bintang, 1984). Hlm. 199-204
[28] Kattsoff, Louis. “Pengantar Filsafat“, terj.
Soejono Soemargono. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996) hlm. 156
[29] Iraqi,Athif. “Tsaurah
al-Aql fi al-Falsafah al-Arabiyah“. Kairo: Dar al-Ma’arif, 1984), hlm. 110
[30] Farabi. “Mabadi’ Ara’ Ahl al-Madina al-Fadlila“
(On the Perfect State), terj. dan ed. Richard Walzer. Oxford: Clarendon Press, 1985). hlm. 100-108
[32] Farabi. “Uyun al-Masa’il“, dalam Friedrich
Dieterichi (ed), al-Tsamrah al-Mardliyah. (Leiden: BJ.
Brill,1890). hlm. 57
[37] Din, Syams al-. “Al-Farabi, Hayatuh, Atsaruh,
Falsafatuh“. Beirut: Dar al-Kutub.1990). hlm. : 128)
[38]Titus, Harold et al. “Persoalan-Persoalan
Filsafat“, terj. Rasjidi. (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm. 245-249
[40] Ghazali. 1996. “Misykat al-Anwar“, dalam Majmu’ah
Rasail. (Beirut: Dar al-Fiki, 1996). Hlm. 271
[41]Farabi. 1985. “Mabadi’ Ara’ Ahl
al-Madina al-Fadlila“ (On the Perfect State), terj. dan ed. Richard Walzer.
Oxford: Clarendon Press,1985). Hlm.164-170
[46] Farabi. 1890. “Maqalah fi Ma’ani al-Aql“, dalam
Friedrich Dieterichi (ed), al-Tsamrah al-Mardliyah. (Leiden: BJ. Brill,1890), hlm. 39-46
[56] Black, Deborah L. “Al-Farabi“, dalam Husein Nasr
dan Oliver Leaman, History of Islamic Philosophy, I. London and New
York: Routledge,1996), hlm.183
Tidak ada komentar:
Posting Komentar